Panggung Pengakuan

Panggung Pengakuan

Setiap orang ingin diakui keberadaanya, eksistensinya. Kebutuhan akan pengakuan menjadi bagian dari keseharian manusia modern. Saya pikir itu adalah salah satu alasan media sosial bertabur postingan.

Dari sekitar 7.9 miliar orang di bumi tahun 2021 ini, 4.48 miliar orang diantaranya aktif menggunakan media sosial untuk berinteraksi. Seolah kurang luas bumi ini untuk berinteraksi di dunia nyata. Namun terkadang harus diakui bahwa pengakuan dalam bentuk like dan kawan-kawannya di media social adalah bentuk pengakuan yang lebih mudah didapat ketimbang pujian di dunia nyata.

Secara naluri setiap kita sebagai manusia pasti memerlukan pengakuan akan keberadaan.

Pengakuan yang datangnya dari lingkungan, keluarga bahkan terkadang pengakuan dari diri sendiri. Bukan sekedar dilihat ada sebenarnya, tetapi benar-benar hadir dan punya pengaruh. Bermacam cara pun ditempuh untuk terlihat.

Beberapa merasa penting sekali agar terlihat sibuk, dengan nada suara tinggi untuk persoalan2 sederhana.

Beberapa lainnya merasa bahwa mondar mandir akan membuat kehadirannya disadari, walaupun kadang tidak utuh juga.

Banyak “drama” yang muncul juga karena kebutuhan akan pengakuan; reaksi berlebih untuk hal sederhana. Tangis sesungukan sambil memandang kamera atau tawa yang tak tulus; kadang menarik untuk diperhatikan.

Beberapa lainnya memilih yang terbaik yang bisa ditemukan di lemari pakaian dan jejeran sepatu tanpa merasa perlu menyesuaikannya dengan situasi, kondisi apalagi kenyamanan orang lain.

Yang begini sih secara pribadi lebih saya sukai. Yang penting adalah kenyamanan pribadi, orang hanyalah komentator yang pilih diabaikan.

Perebutan panggung dan pengakuan di dunia maya juga menarik untuk diperhatikan.

Media sosial menawarkan panggung untuk semua orang, siapapun bisa berpartisipasi. Panggungnya luas dan bebas, asal mau siapapun bisa menggunakannya tanpa takut akan dikudeta turun.

Eh sesekali Mr. Mark dan kawan-kawannya bisa melakukan itu tetapi untuk kasus yang parah dan dilaporkan sama banyak orang saja saya pikir.

Yang ingin ditampilkan pun bisa apa saja sesuai kebutuhan.

Saya membayangkan medsos itu seperti sebuah panggung besar yang menampilkan para penari dengan keahliannya masing-masing.

Semua orang bisa jadi penari, bisa jadi penonton. Siapapun bisa jadi penonton yang aktif berkomentar atau hanya pasif dan mengambil nilainya. Semua penari akan menampilkan yang terbaik yang dimiliki; kostum, materi tarian atau bahkan hanya sekedar cara dia berputar dan menikmati lagu pengiring.

Kebutuhan untuk diakui, dipuji dan terkadang yang paling sederhana adalah kebutuhan untuk ngobrol membuat semua yang ditampilkan dimedia sosial adalah hal yang telah disortir ketat. Tidak ada foto yang menggunakan kamera “biasa” atau polos tanpa editan yang masuk beranda medsos. Bahkan kalaupun kostumnya daster rumahan, minimal efek pencahayaan sudah paling ok untuk wajah cerah mempesona. 

 Tulisan dan jawaban untuk pertanyaan Mr. Mark, “Apa yang anda pikirkan?” juga sudah melalui tahap mengedit yang cukup panjang. Dalam kemarahan dan kekecewaan yang mendalam, ketika menuliskan itu dimedsos pun akan tetap diutak atik walalupun dengan air mata yang terus mengalir.

Hampir tidak ada yang original.

Apakah itu sesuatu yang salah?

Tentu saja tidak, malah lumrah. Tidak ada manusia yang ingin memberi kesan serampangan diawal, kecuali (mungkin) sudah memasuki jam kehilangan kewarasan.

Pemenuhan kebutuhan akan panggung dan pengakuan akan membuat seorang manusia secara naluri selalu menampilkan yang terbaik.

Apakah itu mengganggu?

Untuk pertanyaan ini saya senyum-senyum sendiri, karena jawabannya akan beragam tentu saja. Walaupun panggung dunia maya cukup luas, tetap saja terkadang beberapa orang merasa terganggu dengan tampilan orang disebelahnya.

Simple way to deny sebenarnya adalah bergeser sejenak atau ekstrimnya malah menjauh. Mengganggu atau tidak saya pikir tergantung pada kualitas tarian dan penerimaan diri. Ketika sadar bahwa tarian kita tidak terlalu bagus atau adalah hasil meniru tarian orang, salah satu cara untuk “mempertahankan” diri adalah dengan tidak menyukai apapun yang ditampilkan orang lain. Bisa juga pertahanan diri terbentuk karena ego sebagai yang terbaik dan tak tergantikan, lupa orang lain juga punya rasa yang sama.

Ahaiiiii hidup memang menyenangkan.

Selalu ada hal yang menyadarkan bahwa hidup itu asik, melihat cara unik setiap pribadi untuk merayakan hidupnya melalui panggung dan pengakuan masing-masing. Duduk disatu bagian ruang dan mengamati bagaimana cara tiap orang merayakan kehidupan.

Kopi dan lagu Josh Turner adalah cara saya merayakan hidup diawal November yang cukup keras ini.

Sambil memilih menikmati cara anak-anak merayakan hari; berlari kesana kemari tanpa lelah. Apapun pakaian yang dipilih orang dewasa, selama itu nyaman tidak akan berpengaruh pada keceriaannya dan akan dipakai dengan sukacita tulus.

Kaus kaki yang kedodoran, celana kebesaran, dan sepatu yang kotornya tentu tidak dibawa dari rumah. Gadis-gadis kecil yang baru belajar memakai lipstik tidak hanya dibibir tetapi juga sampai  menghias gigi.

Bergerombol mereka mengejar tukang es krim yang lewat dengan pongah sadar dibutuhkan.  

Salam dari Borong

One comment

  1. SMP Negeri 12 Borong

    Benar sekali KA Jenny…Kakak selalu menjadi lilin yang mampu mencerahkan banyak orang…
    Media sosial benar – benar menjamur,demi pengakuan dan tujuan viral semua hal dijadikan konten,orang tidak segan mempublikasikan hal – hal pribadinya…Haruskah ada edukasi untuk media sosial ?

Komentar