Pesta di Ruteng

Pesta di Ruteng

Orang Ruteng memang paling tau bagaimana caranya merayakan hidup dan bersenang-senang. Pesta di Ruteng, konon kabarnya, adalah pesta paling seru dan komplit untuk ukuran Flores bahkan mungkin NTT. Ini mungkin pernyataan yang terkesan sombong; tetapi begitulah. Beberapa teman dari tempat lain yang pernah datang dan berpesta di Ruteng menyatakan hal yang sama.

Pesta adalah bagian kehidupan orang Timur Indonesia.

Hidup adalah perjalanan dan setiap tahapan harus dirayakan dengan meriah. Ini seperti kesepakatan bersama yang tidak tertulis namun ditaati oleh sebagaian besar orang Indonesia bagian Timur, khususnya di Manggarai.

Berkumpul, ngobrol dengan musik, lagu dan tari adalah cara kami mengucap syukur dan merayakan hidup. Banyak hal yang sepertinya “harus” dirayakan dengan pesta.

Ketika seorang anak lahir memasuki kehidupan, persiapan pesta sudah dimulai. Pesta ketika dipermandikaan menjadi anggota gereja (permandian) atau menuju akil balik  (sunatan), pesta ketika menerima komuni pertama, pesta ketika akan berangkat dan/atau telah menyelesaikan sekolah dan pesta untuk pertunangan. Sebut juga pesta merayakan pernikahan, pesta ulang tahun (untuk setiap peristiwa ada ulang tahunnya) dan banyak jenis pesta lain.

Ada juga istilah pesta adong; ini adalah jenis pesta yang diada-adain karena lama tidak berkumpul dan ngobrol. Ketika rindu bernyanyi dan menari bersama, “Kita karang-karang saja tema pesta. Intinya makan, kumpul, nyanyi dan menari bersama.” Demikianlah kami. Hehehe.

Pesta di Ruteng itu tentang orang-orang yang menciptakan bahagia dan menikmatinya dengan maksimal

Makanan enak, musik-musik keren dan tarian berbagai rupa. Soal menu makanan, terkadang meja yang tersedia tidak cukup luas untuk menampung menu yang disediakan tuan rumah. Bahan bakunya hampir sama tetapi olahannya bisa sangat kaya;  inilah yang menyebabkan agak susah untuk menolak tawaran makan saat pesta. Hehe.  Tentu saja untuk tidak menyebutkan selera dan nafsu makan yang kadang susah dikontrol.

Jangan tanya soal musik dan lagu. Segala hal kami nyanyikan dan kami tarikan. Orang-orang Timur sepertinya akan otomatis bergoyang ketika mendengarkan lagu dan musik. Bawaan badannya emang begitu. Salah seorang teman pernah bilang bahwa tarian dengan music yang terkesan lembut ketika ditarikan oleh orang Timur selalu terlihat asik dan tetap “macho”. 

Musik melekat dalam diri dan darah orang Manggarai.

Kami punya banyak penyanyi hebat yang musiknya kemudian menjadi ikon di pesta-pesta dan dinyanyikan bersama sekaligus ditarikan. Sebut saja Ivan Man, Lipooz, Herto Bastian, Ambang Bersaudara, dan banyak lagi. Bernyanyi dan menari adalah darah orang Manggarai. Yang tidak bisa bernyanyi akan menari dengan baik dan sebaliknya. Yang bisa menyanyi dan menari juga banyak sekali dan datang dari segala usia.

Anak-anak muda berpesta dengan musik regae atau hip hop; om, tanta dan para sepuh akan berdansa dengan khidmat. Pembagian ruang dan music juga adil sehingga setiap orang bisa berpesta dengan bahagia.

Pernikahan Albert dan Ani

Sejak kecil kami dininabobokan dengan lagu-lagunya Bee Gees dan La Paloma adalah lagu yang menemani kopi sore. Ketika rewel anak-anak dinyanyikan lagunya Mus Moejiono atau Broery Marantika sampai tenang kembali. Menginjak remaja, lagu-lagu regae dan Iwan Fals menjadi pilihan lain. Jaman sekarang mungkin penyanyi dan jenis lagunya sudah berubah jauh; tetapi kami tetap dan akan selalu menyukai lagu-lagu yang bisa menggerakan badan untuk berdansa, jeven, regae, hiphop. Terkadang juga sekedar menggerakan badan saja sambil menikmati musik. Bahkan para introvert pun akan sulit menahan tubuh dan jiwanya untuk bergerak dan bergoyang ketika mendengarkan musik dan menikmati tarian di lantai dansa.

Ruteng dan pestanya juga adalah janji tentang pemandangan indah ciptaan Tuhan.

Serius soal ini. Ruteng bukan hanya kota yang dingin dan indah. Anak-anak Ruteng juga dikenal karena kemampuannya untuk tampil keren senantiasa. Jangan coba mengabaikan soal tata busana ketika berpesta di Ruteng;  entah itu pesta di rumah, di kemah atau pesta gedung (kami punya gedung yang khusus disewakan untuk berpesta). Entah kenapa, tetapi ketika akan berpesta semua orang berpikir cukup serius tentang busana dan riasan (untuk wanita tentunya) yang sesuai dengan jenis pesta. Dan hasilnya emang “wow”.

Kadang masih suka heran bagaimana orang-orang bisa menjadi sedemikian menarik dengan gayanya masing-masing dan membuat pesta semakin asik. Standard gaya anak Ruteng memang bikin urut dada. Apalagi kalau kita datang dari Generasi Jalan Kaki maka perbedaan bukan hanya soal selera musik dan ragam tarinya. Gaya dan penampilan juga berbeda antar generasi. Tetapi keren itu emang bawaan badan dan buah dari kepercayaan diri yang baik. Ini berlaku mutlak di Ruteng; dari generasi manapun kita berasal. Hehe. Ini asli sombong su…

Hal “miring” pasti juga ada dari rangkaian cerita pesta di Ruteng.

Soal ekonomi adalah yang paling banyak menjadi perhatian. Resesi yang membuat hampir semua orang mengencangkan ikat pinggang sepertinya tidak berpengaruh banyak di sini. Tidak cukup 5 ekor ayam untuk sebuah pesta tentunya; sajian meja makan saja bisa menghabiskan jutaan rupiah selain biaya terop/kemah pesta dan sound system. Tidak lupa biaya penampilan dan biaya makan puji untuk miras (sopi).

Pesta di Ruteng seperti menambah daftar kalimat tanya yang menggantung di udara, “Resesi itu apa ya?”. Haha.

Tentu saja sebagian besar penyelenggara pesta sudah mempertimbangkan soal biaya dan menyiapkannya jauh-jauh hari. Untuk yang dadakan; kita percayakan pada koperasi sebagai lembaga keuangan terdekat; entah yang harian, mingguan atau bulanan.

Yang penting pesta berjalan meriah saja dulu.

Miras yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari pesta di belahan Timur Indonesia.

Ini  adalah kekhawatiran yang selalu membayangi jalannya acara. Pesta sepertinya tidak lengkap tanpa miras yang lebih dikenal dengan nama “sopi”. Semua juga sadar ini bukan kebiasaan yang sehat; untuk kantong dan kesehatan. Namun entah mengapa dan bagaimana, selalu ada sopi yang beredar ketika pesta memasuki jam-jam tertentu.

Selain karena matahari sudah akan terbit, hal lain yang berpotensi menghentikan pesta adalah perkelahian. Miras yang memasuki ruang publik ditambah ketidakmampuan mengendalikan kesadaran biasanya membuat banyak orang menjadi lebih sensitif. Sensitif terhadap tatapan atau perlakuan sesama tamu, tetapi lupa sensitif terhadap perasaan tuan pesta yang sudah menyiapkan segala sesuatunya dengan susah payah.

Yang belum tersedia di pasaran saat ini adalah miras yang dijual sepaket sama penghargaan untuk pemilik acara.

Saya menyelesaikan tulisan ini sambil menikmati musik dari rumah tetangga yang sedang berpesta. Tentu saja sambil ngopi dan menikmati kue Lebaran yang sudah mulai tersedia di meja.

Cara setiap orang menjalani cerita kehidupan tentu saja berbeda dan berpesta adalah cara yang sama untuk merayakan hidup dan perbedaan.

=== Salam dari Ruteng ===   

One comment

Komentar