Menikahlah denganku di Akhirat Nanti

Menikahlah denganku di Akhirat Nanti

Aku melihat duka di matamu, tentang bahagia yang tak utuh kau temui dari separuh jiwamu sendiri. Hidup kadang begitu, dia yang kau panggil kekasih belum tentu benar-benar kau kasihi, bukan? Bagaimana mungkin kau masih bisa jatuh cinta dengan yang lain. Diam-diam kau sembunyikan rasa di balik layar ponsel dengan kode kunci yang akurat. Apa yang kau rahasiakan di sana? Perbincangan kita?

Ah, kadang aku juga bingung. Kau sudah mencintai yang lain, bahkan sudah berumah tangga, masih saja ada orang lain yang mencintaimu di luar sana. Seliar itukah rasa? Kau pun demikian, bukan? Apa sebenarnya cinta yang kau maksud? Membagi perasaan dan bersulang tubuh dengan pasangan yang lain?

Sore tadi, aku ingin melukis wajah seorang perempuan. Entah mengapa pensilku bergerak tanpa sengaja menggambar sebuah jantung yang retak. Aku langsung mengingat kau yang selalu diam di balik layar ponselmu, sesekali menatap ke luar lewat jendela kamar sedang suamimu menikmati secangkir teh hangat di beranda rumah. Lagi-lagi aku bertanya, mengapa kau tidak temani saja dia di sana? Sial, bodohnya aku melakukan hal yang sama. Mengingat-ingat kembali ceritamu di kedai yang sering kita kunjungi saat suntuk menghantui.

Katamu, ada seseorang yang istimewa dalam hidupmu.

Aku pikir, dia yang sedang bersamamu di sana. Ternyata, kau menyembunyikan wajah yang lain dalam ruang dada yang sengaja kau pecahkan menjadi beberapa bagian itu. Sebagian untuk kekasihmu, sebagian lagi untuk pasanganmu yang lain.

Sekuat apa pesonamu hingga aku pun terjerumus jatuh dalam ruang hidup yang selalu bising di kepala. Jatuh cinta pada pasangan orang lain memang salah, namun mau bagaimana lagi, aku tahu siapa diriku. Aku tahu, kau sudah berumah tangga. Ternyata ada sensasi lain di sana, selalu jatuh cinta dan takut membuat jantung berdetak lebih berirama.

Kau hidup bersama yang lain, namun dalam keseharian selalu saja ada wajah lain yang kau selipkan dalam rindu. Bukan kekasihmu yang dunia tahu, tapi kau mempunyai dunia tersendiri dengan seseorang itu, bukan? Bukan pula aku, kan? Lalu bagaimana bisa aku ingin menjadikanmu bagian dari hidupku juga?

Pada ampas kopi sore ini, aku menitipkan sebuah harapan di dasar gelas. Menikahlah denganku di akhirat nanti sebab duniamu sekarang bukan seutuhnya aku.

Hidup adalah bagaimana menikmati serta menyikapi. Seperti kopi, ada yang suka merayakan pahitnya di sejuknya alam, ada yang memilih tenggelam syahdunya di kedai hingga larut malam. Semua tergantung selera.

Aku lebih memilih menikmati kopi di hadapanmu bersama deras air yang turun dari pelupuk masa lalumu, merasakan denyut nadi yang menopang rindu, kopi laksana singgasana paling indah untuk mensyukuri irama waktu. Dan bila kau tak suka, bukan berarti aku juga turut membencimu.

Justru cinta kita akan abadi dengan saling menghargai. Tidak memaksa namun saling merasa. Memeluk beragam bukan seragam. Coba bayangkan, kita bergantian menikmati kopi dengan cara berbeda. Kau kuajak ke alam terbuka, aku kau ajak ke kedai-kedai kota. Aku jelas mau, sekarang bagaimana kamu. 

Mengapa? Karena memang kita tak sama tapi dalam cinta kita tak berbeda. Intinya, menikahlah denganku di akhirat nanti, sebab di duniamu kini; kau hanyalah seseorang yang lain..

Ini salah satu tulisan Itok Aman yang buat saya ngeri-ngeri sedap. Hahaha. Tema percintaan tetapi agak-agak sensitif gitu deh. Tetapi seperti biasa, dia menulisnya dengan santai dan asik; Itok banget.. Terima kasih selalu menyediakan waktu menulis untuk lejeany ya dear broda…selalu sukses dan bahagia dalam cinta semesta and ur Maria.

Salam dari Borong

Komentar