Tanta Ince; Malaikat  Selibat

Tanta Ince; Malaikat Selibat

Tanggal 16 Juni 2022 lalu, Pater Frans Pora, SVD menulis kabar duka di WA Grup (WAG) Alumni APK/STKIP Santu Paulus, “Kepada semua katekis/ta dimana saja. BERITA DUKA. IBU INCE PARERA YG BERJASA BAGI KITA BARUSAN MENINGGAL. Mohon doa untuk keselamatannya”.

Tanta Ince adalah pemasak pada asrama APK/STKIP dan Noviat SVD di Kuwu. Entah sejak kapan dia mulai menjalankan pelayanan ini, saya sendiri kurang tahu. Barangkali sudah mulai sebelum saya lahir; karena beberapa doa di WAG itu datang dari katekis yang sudah purna bakti.

Ketika saya kuliah di kampus STKIP yang sekarang menjadi Unika St. Paulus, Tanta Ince masih di sana, menjadi pemasak bagi para imam dan anak-anak asrama. Ia kemudian pindah ke Novisiat Kuwu tahun 1994. Melanjutkan tugas yang sama; sebagai pemasak bagi para imam dan frater. Tahun 1994, adalah tahun terakhir saya kuliah dan tahun pertama saya masuk asrama. Jadi secara pribadi, saya tidak mengalami dilayani Tanta Ince sebagai anak asrama. Tetapi karena asrama dan kampus menyatu, sebagai mahasiswa non asrama saya mengenal dia dengan baik. Selintas kenangan yang muncul adalah seorang ibu yang ramah, suka senyum dan bahkan tertawa terbahak-bahak.

Kembali ke kabar kematiannya…

Segera setelah berita itu terbaca di WAG, doa untuk keselamatan arwahnya mengalir. Bukan hanya doa, tetapi juga ucapan terima kasih untuk jasanya. Beberapa memanggilnya “ema” (mama) dengan ikon menangis yang panjang. Hal yang menarik adalah tidak seorangpun yang menulis ucapan “turut belangsungkawa kepada keluarga yang ditinggalkan”;  sebagaimana lazimnya ketika sebuah berita kematian tiba. Ya, Tanta Ince bukan “keluarga lain”. Untuk semua yang pernah dia layani pasti akan merasa bahwa Tanta Ince adalah keluarganya; ibunya. Sehingga kematian Tanta Ince adalah duka pribadi dan duka keluarganya sendiri.

Selibat demi Kerajaan Allah

Tanta Ince memang tidak menikah. Ia tidak punya suami dan anak biologis. Ia menghabiskan hidupnya dari komunitas (biara) satu ke komunitas lain, sungguh itu adalah keluarga yang luas. Seperti para imam yang dilayaninya, ia juga berselibat (tidak menikah) demi Kerajaan Allah. Yup…Tanta Ince juga berselibat.

Bedanya, para imam mengikrarkan kaul selibat di depan Allah, dalam suatu upacara khusus dengan perayaan istimewa, di hadapan pejabat Gereja, disaksikan umat dan dipestakan secara  meriah.  Selibat mereka adalah suatu pilihan hidup khusus, demi sebuah pelayanan kepada Gereja dan umat. Dengan tidak menikah, para imam bisa lebih fokus pada pelayanan dan tidak pada keluarganya sendiri.

Para imam memang tak punya istri-anak sendiri, namun mereka membangun keluarga, rumah, anak, sahabat yang lebih luas, lebih banyak, dan tanpa batas. Injil Matius 19,29 melukiskan, “Setiap orang yang karena nama-Ku meninggalkan rumahnya, saudaranya laki-laki atau saudaranya perempuan, bapa atau ibunya, anak-anak atau ladangnya, akan menerima kembali seratus kali lipatdan akan memperoleh hidup yang kekal.”

Demikianpun Tanta Ince; dengan tidak menikah dan memilih berselibat, Tanta Ince juga bisa fokus pada tugas pelayanannya. Secara pribadi saya bersaksi bahwa selibatnya juga demi Kerajaan Allah. Ia menghadirkan nilai kerajaan Allah dalam setiap gerak tubuhnya saat memasak, mendesain gizi dan pemenuhan kebutuhan hidup setiap yang dilayaninya.

Tak ada yang bisa berteologi, berkotbah dan berfilsafat dengan perut kosong.

Makanan adalah kebutuhan paling fundamental yang membuat manusia hidup; lebih dari apapun. Manusia memang tidak hanya hidup dari roti saja, tetapi juga tak ada kehidupan tanpa roti/makanan.

Tanta Ince telah memilih jalan selibat dengan menjadi pelayan dan menyiapkan makanan untuk orang lain. Salah satu penghargaan untuk pilihan itu adalah banyaknya ucapan terima kasih atas jasanya dan rasa kehilangan ia sebagai “ibu”, sumber hidup untuk banyak orang. Ucapan duka dan kehilangan mengalir melalui WAG dan media sosial lainnya.

Menyebut Tanta Ince berselibat mungkin agak aneh. Kata ini biasanya dipakai secara khas untuk kaum rohaniwan berpendidikan Katolik dan Budha yang mengikrarkan kaul. Kata ini mempunyai aura yang religius, kudus, agung dan penuh hormat.

Untuk perempuan yang menurut konstruksi sosial sudah seharusnya menikah tetapi memilih untuk tidak menikah, situasinya lebih rumit. Alih-alih mendapatkan penghargaan dengan nuansa penghormatan apalagi religius, kebanyakan justru dirundung/bully. Julukan pedas seperti: perawan tua, tidak laku, lapuk dan olokan lainnya adalah yang paling mungkin didapat. Banyak riset juga menemukan bahwa perempuan yang tidak menikah kerap kali menjadi korban pelecehan seksual; dalam bentuk serangan fisik, psikis atau olok-olokan.

Saya kurang mengenal Tanta Ince secara pribadi dengan baik, namun kesaksian teman-teman katekis/ta tentang hidup dan pelayanannya cukup bagi saya untuk yakin bahwa Tanta Ince telah berselibat demi Kerajaan Allah, sebagaimana tuan-majikan yang dilayaninya. Ia mungkin mengkirarkan kaul itu dihadapan Allahnya dalam kesendirian dan dalam sejarah panjang pergulatan hidupnya.  Yang pasti, ia sudah menghidupkan banyak orang melalui pelayanannya.

Malaikat Keluarga Lainnya

Tanta Ince bukan satu-satunya perempuan selibat dari klub non rohaniwan/wati yang saya kenal. Kita masing-masing mungkin juga punya kenalan, keluarga atau tetangga yang memillih hidup selibat walaupun bukan rohaniwan/wati.

Pernahkah memperhatikan bagaimana mereka mendedikasikan hidup mereka? Mungkin hanya sebuah pengamatan subjektif saya saja. Beberapa perempuan yang saya kenal adalah angel dari keluarga mereka. Mereka biasanya adalah pekerja keras, mencari uang namun tidak hanya untuk dirinya sendiri. Ada yang membiayai sekolah adik, kakak, ponakan dengan menyisihkan kesenangan sederhana untuk dirinya sendiri. Karena “tidak terikat”, mereka bisa menjadi “joker” untuk merawat yang sakit, menemani yang di rumah sakit atau menjaga bayi dan orang jompo. Mereka diandalkan sebagai “pembantu” dalam setiap hajatan keluarga. Mereka mudah berpindah membantu dari satu rumah ke rumah lain.

Untuk yang punya pekerjaan mapan, di wilayah kota atau kota kecil, rumah mereka biasanya menjadi rumah induk dan tempat tinggal bagi keluarga yang migrasi untuk studi. Tentu saja ini bisa menghemat uang kos atau asrama. Walaupun dalam banyak cerita mereka biasanya adalah tipikal perempuan yang keras dan sulit diajak kompromi, tetapi mereka tetaplah malaikat penyelamat untuk kondisi keluarga yang sulit.

Masih banyak litani bantuan yang mereka berikan. Dengan berselibat, mereka telah menghadirkan kerajaan Allah dan kepada mereka bisa jadi kita berhutang budi.

Rest in love and peace Tanta Ince.

Hormat bagi para perempuan selibat, para malaikat, lainnya.

Tulisan ini milik k Ancik “Fransiska Widyawati“, salah seorang perempuan Manggarai yang menjadi barometer kemandirian dan otonomi atas diri. Catatan ini ditulis sebagai kenangan tentang salah seorang perempuan hebat lainnya yang mengisnpirasi dan sudah jadi malaikat di surga. Terima kasih sudah menulis untuk lejeany kak, it means a lot.

Salam dari Borong

One comment

  1. Mei

    Saat kita ngobrol tentang “tema” ini, saya menikmati obrolannya Kakkk… Sekarang begitu ditulis, rasanya lebih dalammmm… Thanks, Kaka Ancyk…

    Terima kasih, Inang Jeany sdh mewadahi tulisan ini…

Komentar