Kacamata dan Jalan Pulang

Kacamata dan Jalan Pulang

Kemarin salah satu lensa kacamata saya jatuh dan hilang. Kesulitan sudah pasti, bahkan merasa bakal susah menemukan jalan pulang tanpa kacamata.

Ini menjengkelkan tentu saja, cenderung buruk, dan tentu saja menyulitkan. Mata saya sangat peka dengan cahaya jadi kalau tanpa kacamata sering pedih, sakit dan berair. Kacamata ini juga sebagai senjata andalan menyembunyikan mata yang sering sembab dan sayu karena alergi.  Asli tidak nyaman ketika akhirnya kehilangan.

Salah satu kebiasaan buruk saya ketika memakai kacamata adalah menaruhnya diatas kepala. Biasanya saat ngobrol atau sedang (merasa) tidak membutuhkannya untuk membaca atau melihat sesuatu dengan jelas; menghitung uang misalnya karena tanpa kacamata pun saya bisa melakukannya dengan baik. Hahaha.

Kebiasaan ini bahkan menjadi ciri khas akhirnya.

 “Jeany yang mana ya?”

“Oh…Jeany yang selalu pake kaca(di)mata, kalau tidak ketemu yang pake kaca(di)mata maka coba cari yang pake kacamatanya di kepala.”

Demikian deskripsinya. Hehe.

Ketika salah satu lensa kacamata hilang dan mata mulai semakin sering perih, saya akhirnya menyadari bahwa saya terlalu meremehkan peran kacamata selama ini. Sering mengabaikan keberadaannya, terutama ketika sedang tidak dibutuhkan. Ketika dibutuhkan juga yakin saja benda itu ada disekitar, paling sering diatas kepala. Tinggal ambil dan pasang dimata, maka semua kembali beres.

Kondisi ini sepertinya familiar kan?

Berapa sering kita mendengar orang-orang mengeluh tentang pengabaian yang diterima dalam kehidupan sehari-hari. Sesuatu atau orang-orang terdekat biasanya adalah yang paling mudah diabaikan. Selalu ready kadang membuat penghargaan berkurang. Dulu pas masih sekolah sering merasa diabaikan ketika bertemu keluarga dekat dan yang diberi uang lebih adalah anak-anak dari saudara yang jauh atau bahkan teman kita. Alasannya, nanti kan kamu masih akan (sering) ketemu, jadi jatahnya masih berlanjut. Baiklah….tetapi tetap saja merasa diabaikan; belum lagi dramanya adalah ketika ketemu lagi mereka sedang tidak mood bagi-bagi uang. Lewe len susah dan kecewa pun berlanjut.

Banyak juga cerita tentang orang tua, pasangan,anak dan saudara yang merasa diabaikan karena kita lebih peduli sama orang yang baru kita temui dengan alasan sopan santun. Pas acara kumpul-kumpul secara tidak sadar kita akan melihat anak orang lebih lucu dan kemudian mengabaikan celotehan anak kita. Sebagian dari kita bahkan mungkin pernah lebih memilih mendengarkan orang bercerita atau dengan “tega” bilang bahwa cerita mereka lebih seru dibandingkan cerita orang-orang terdekat kita. Tatapan sakit hati saat itu biasanya sering tidak tertangkap. Yang tertangkap dan ditanggapi malah sikap buruk mereka setelahnya; tanpa merasa bersalah bahwa kitalah penyebabnya.

Pernahkah merasa atau berada dalam kondisi saat  saudara kita yang berada a.k.a kaya, sepertinya lebih suka membantu orang lain daripada kita? Atau kita malah sering melakukannya juga. Duhhh tentang ini juga sering sekali mendengar gerutuan yang berujung hubungan keluarga yang memburuk. Ketika kita butuh bantuan dan orang-orang terdekat memilih memberi bantuan kepada orang lain, sesaknya sampai di ubun-ubun. Setelahnya pasti akan muncul omelan, kemarahan dan otomatis hubungan menjadi dingin. Banyaklah cerita tentang sikap lebih mementingkan orang lain daripada orang-orang terdekat. Saya sih yakin sebagian besar dari kita pernah mengalaminya.

Kalimat bijak bahwa, sesuatu atau seseorang lebih berharga ketika kita belum memilikinya dan/atau setelah kita kehilangan, sepertinya relevan ya….

Penghargaan menjadi banyak berkurang ketika sudah memiliki.

Usaha yang dikeluarkan ketika ingin mendapatkan seringnya tidak sama banyak dengan usaha untuk mempertahankan. Hal atau orang yang setiap hari ada dan bahkan dengan penuh keyakinan kita nyatakan sebagai milik, terkadang adalah yang paling akhir dalam daftar prioritas; untuk urusan apapun. Kadang kita terlalu yakin orang-orang tersayang akan selalu ada buat kita, akan selalu mendukung dalam kondisi apapun.Me Time-ku, Your Time

Melangkah yakin dan tegap sampai terkadang alpa menggandeng yang seharusnya dipeluk. Sepertinya kecenderungan setiap manusia adalah berbagi dengan orang-orang diluar lingkaran orang terdekat. Seringkali  kita sibuk berbuat baik untuk orang lain yang tidak kita kenal, sementara ada keluarga kita yang sebenarnya juga butuh bantuan tetapi tidak masuk dalam daftar prioritas.

Kita selalu siap untuk mendengarkan cerita teman-teman kita tetapi terkadang lupa bilang selamat pagi untuk orang tua di rumah. Dengan mudah mengeluarkan banyak uang mentraktir para kenalan, sampai lupa bilang terima kasih dengan ngobrol bersama keluarga ketika senja turun. Kita adalah tujuan untuk para sahabat yang sedang bersedih, tetapi bukan tempat yang nyaman untuk saudara kita berkeluh. Diskusi hebat yang dibangun diluar rumah seringkali mengaburkan arti candaan di meja makan yang sudah menjadi tradisi keluarga. Berkabar senantiasa di media sosial tetapi lupa menanyakan bagaimana hari ini berjalan kepada mereka yang menunggu di rumah. Kadang terlalu yakin juga bahwa orang-orang tercinta akan tetap ada dan tidak kemana-mana. Toh setiap kali dibutuhkan mereka selalu ada dalam jangkauan berbagi, apapun kondisi kita.

Ketika lensa kacamata hilang dan saya menyadari sulitnya menjalani hari dengan kondisi mata yang buruk, akhirnya kesadaran untuk menghargai keberadaannya muncul. Sekelebat kemudian muncul juga pikiran, bagaimana jika lelah dan ingin bersandar ternyata orang-orang terkasih sudah tidak ada lagi atau berpindah tempat?

Lensa kacamata hilang saja sudah sangat tidak nyaman, apalagi ketika sayang mereka yang harus hilang.

Rutinitas dan “selalu ada” kadang jadi bumerang sebagai orang-orang dekat.

Pengabaian terkadang adalah jarak yang dibangun dalam kesadaran tentang arti rasa sayang. Jalan pulang kadang hanya sesederhana ngopi bareng sambil menikmati musim dingin dan candaan receh tentang tetangga yang kepo dengan bunga murah yang kita tanam dipot yang terlihat mahal. Kembali pulang juga terkadang hanya perlu dirayakan dengan pelukan dan laporan singkat tentang gigi yang pecah karena ice cream dan cubitan sayang sebagai hukuman. Atau pelukan posesif dengan komentar judes tentang kunjungan yang makin jarang dan poni yang semakin tidak terkendali.

Ketika jarak ada, pulang adalah video call dan cerita tentang bangunan sebelah rumah yang bisa dibangun dalam waktu singkat dan spekulasi kita tentang dari mana mereka mendapatkan uang untuk itu semua.

Pulang itu sederhana saja karena pernyataan sayang adalah jalannya.

Salam dari Borong

0 Comments

  1. Ping

    saat luoa kacamatanya ada dimana,coba di misscall…😁😁😁

    suka sekali bagian “Kita selalu siap untuk mendengarkan cerita teman-teman kita tetapi terkadang lupa bilang selamat pagi untuk orang tua di rumah”

    love you perempuan bermatakaca

Komentar