Mencari, Menerima & Sembuh

Mencari, Menerima & Sembuh

Kemarin sore aku berkencan dengan kekasih mudaku Yehezkiel. Topik personal meeting kami adalah St. Antonius dari Padua yang berkotbah dan didengar oleh ikan, burung-burung, dan binatang-binatang lainnya.  Pujangga gereja itu berkomunikasi dengan  alam dengan cara menakjubkan. Cintanya pada Tuhan diekpresikan dengan rasa hormatnya pada semesta karya Tuhan.  Ia juga melanjutkan penyembuhan Tuhan melalui unsur-unsur alam. Kisahnya menyenangkan aku dan kekasihku.

Mengingat kencan kemarin, hari ini saya memilih menulis sesuatu, tentang alam yang menyembuhkanku. Juga tentang petualangan mencari cara, mencari kekuatan diri.  Saya meminta ijin dan konfirmasi pada diriku sendiri untuk  membuka kisah yang sangat privat ini. Bercerita berarti  tertantang untuk terbuka, jujur, lugas, dan rendah hati. Jika tidak, kisah ini tidak akan berisi.  Baiklah sebisaku aku berjanji berbicara tanpa rasa malu dan terhina, tulus membuka diri dengan jujur. Aku berjanji tidak sungkan  membiarkan rahasia kekurangan manusiawiku dibaca orang. Aku berani  karena niatku adalah menolong orang lain  yang mengalami seperti aku.

Seperti kebanyakan orang di seluruh belahan bumi, setiap segmen hidupku memiliki zona waktunya sendiri. Gembira, sedih, frustrasi, sukacita meluap-luap, kaya dan jatuh miskin , sakit- sehat, jaya-terpuruk. Di satu zona  berkat melimpah ruah, di zona sbelahnya  aku tergambar rapuh dengan mental yang tertekan karena berbagai situasi kondisi. Di sebuah foto, tubuh wajahku penuh pesona intelejensia, ceria, mulia. Pada foto yang lain mataku basah, sayu, tampilanku buruk dan tak simpatik. Kadang-kadang aku sabar tetapi tidak selalu. Aku mudah tersulut dan mengamuk. Sesekali aku mengubah diriku jadi malaikat,  di hari lain aku terseduh-sedu menyesali pikiran, kata-kata dan lakuku yang sudah menghancurkan.

Pada sesi ini saya berbagi sebuah pengalaman   kejatuhan mental hingga titik di mana aku tak sanggup menolong diri sendiri. Bingungnya kejatuhan ini terjadi pada saat aku berada di zona hidup yang sangat nyaman, damai dan tak berkekurangan. Tidak ada peristiwa luar biasa yang bisa jadi alasan trauma.  Semua berjalan ‘normal’.  Aku bahkan mendapatkan hasil  sangat bagus untuk pemeriksaan rutin kesehatanku.  Pagi itu aku bangun segar sewaktu   telinga kananku berbunyi panjang tanpa henti. Aku abaikan.  Malam hari aku tak bisa tidur. Begitu sampai hari keempat. Aku ke dokter THT dan aku mengenal istilah baru : tinnitus. Konon untuk kasusku itu hanya menganggu, tidak berbahaya. Tentang tak bisa tidur sama sekali siang malam selama seminggu, empat kali saya ke dokter. Dokter mewawancarai situasi hidupku dan menyarankan olah raga, tenang dan vitamin.  Setelah seminggu lebih saya bisa tidur lagi. Segar lagi. Namun setelah itu saya tak bisa tidur lagi entah mengapa. Dari situlah  ceritanya dimulai. (Sedikit flashback; selama 38 tahun hidup sebelumnya nyaris tak sekalipun saya kesulitan tidur, entah siang entah malam, entah di rumah, di jalan, di terminal, di kapal laut dan di rumah teman)

Kepala saya berputar  dan saya jatuh. Saya tidak bisa tidur berhari-hari. Lelah, stres, galau, dan terus begitu. Psikis saya menjadi tak karuan. Sedih sesedih-sedihnya yang bisa saya gambarkan. Saya menangis hampir setiap hari untuk alasan yang tidak saya ketahui. Saya menjadi takut terhadap sore dan malam. Saya merindukan tidur dan ‘hidup normal’. Tubuh fisik saya lelah dan jiwa saya terguncang. Berbagai pikiran aneh menyusup dan merebut sisi positif otakku. Saat malam saya merasa sendirian di alam semesta ini. Semua diberi istirahat, bakan bunga bawang di luar menguncup. Ayam tenang bermimpi, binatang di kandang lelap: lha akuuu ????  Aku sangat lelah.  Menangis menjadi ritual. Kegiatan apa pun tidak ada yang tanpa air mata. Makan: nangis, berbaring: nangis; jalan-jalan: nangis; ngobrol dengan anak-anak: nangis; berdoa apalagi. Berlutut aku memohon Tuhan m mengijinkan saya ‘kembali’ padaNya. Ingin mati jelasnya. Uring-uringan dan tidak ada rasa gembira. Lenyap roh hidupku. Ketika ada yang bilang “pikirin apa sih sampe tak bisa tidur? aku tersinggung berat . Emang aku  bodoh, menciptakan pikiran yang bikin aku menderita begini ?

Seisi rumah ikut-ikutan menderita. Mereka sedih melihatku menangis sekaligus lelah. Suami tak bisa bekerja dan beristirahat dengan baik karena sibuk meladeni saya yang menangis setiap hari. Anak-anak terganggu dan sering melihat aku mengamuk. Kami berusaha berkomunikasi, mencari tahu apa sebabnya. Saya juga bingung. Beberapa kali ke dokter, semua berkesimpulan saya mengidap anxiety, sakit cemas.

Sebagai orang Manggarai, dilakukanlah berbagai upacara adat (aneka sungke), meminta bantuan doa ke mana-mana, ke dokter dan rumah sakit, ke gereja, tanaman herbal, makan makanan bergizi dan seterusnya begitu terus. Aku makin menggila karena merasa tak kunjung pulih.  Stres tanpa bisa dirumuskan sebabnya. Dari sakit psikis lahirlah berbagai sakit fisik. Pusing, lelah, sakit pinggang, punggung, perut dan sekujur tubuh. Lebih dari itu aku juga membuat anggota rumahku ikut sakit dan kelelahan. Anak perempuanku malah ikut-ikutan mencemaskan berbagai hal. Beberapa teman baik datang meberikan peneguhan, nasehat dan hiburan tetapi tak ada yang bisa menyentuh   urat  ceriaku. Aku membantah dan tidak bisa merasa gembira. Aku telah kehilangan hidupku.  Suami saya membimbing supaya saya melakukan latihan bersyukur tetapi itu mustahil. Saya coba, tetapi kata-kata semacam : terima kasih, syukur, pujian tidak akan sanggup keluar dari mulut (apalagi dari hati) saya. Bagaimana bisa bersyukur dalam keadaan payah seperti ini ?

Dengan sedikit semangat, aku  ke  Bali (beberapa kali malah). Pergi ke semua klinik di RSUD Sanglah. Pernah dengan Mama Tati sepupu saya, dan pernah juga pergi sendiri dan suami. Semua test fisik medis saya jalani.  Diagnosa pertama : septum deviasi. Oke saya jalani semua tahap pemeriksaannya hingga pembedahan. Telinga masih tetap berdengung, tetapi kemudian saya jarang sakit kepala. Berikutnya adalah sakit payudara.  Serangkaian pemeriksaan payudara yang menakutkan saya jalani. Diagnosa  adalah galatocea (asi yang tertinggal di kantung asi dan tidak menemukan jalan keluarnya sendiri- bagian dalam payudara seperti lebah/ lampion, punya kamar-kamar sendiri yang hanya terbuka jika ibu sedang menyusui). Oke, masuk ruang bedah lagi untuk disedot. Kabar baiknya, tidak ada gejala cancer. Pemeriksaan lainnya adalah MRI saraf, tulang dan tak terhitung tes. Ada masalah tetapi tidak berbahaya.

Apanya yang penting dengan cerita pemeriksaan yang tidak menarik ini ? Apa kaitannya dengan insomnia kronis yang tak kunjung sembuh ? Ijinkan saya melanjutkannya.

Tidak terlalu menarik  bagian pemeriksaan dan apa kata dokter.  Lebih baik saya mengungkapkan sudut pandang saya sendiri tentang proses bepergian dan berada di situasi rumah sakit. Pergi dari rumah sendirian untuk urusan sakit (bukan karena kerja apalagi liburan) sangatlah tidak enak. Selain kondisi fisik yang tidak enak, lebih lagi perasaan hati yang menyiksa. Prosesnya  ini di kemudian hari menjadi catatan penting meski awalnya benar-benar membuat saya tambah pusing.  Berbaris di antrian dengan orang-orang dengan segala macam kondisi buruk. Sakit, penyakit, kecelakaan, kondisi kemiskinan. Gambaran kehidupan manusia sebagai makhluk yang nyaman. Sakit, meninggal, cacad, operasi, terapi, sakit, lumpuh, kehabisan uang, terluka, perih, lelah. Bahkan sebagai pemantau aja saya sudah lelah. Melewati pemeriksaan  berulang-ulang untuk hal yang sama oleh mahasiswa/i kedokteran benar-benar membosankan, menjengkelkan dan boros.  Untuk ini pasien BPJS tak boleh protes, karena ini memang rumah sakit pendidikan. (Baiklah, hitung-hitung ibadah jika tubuh dan sakit ini dijadikan bahan pembelajaran. Siapa tahu ada di antara calon dokter itu yang mendapatkan sesuatu yang baik dari sakitku untuk keperluan orang sakit di masa depan, amin.). Berjam-jam mondar mandir dari lab ini ke ruang itu, ke ruang sana sini dengan teman duduk semuanya orang yang lagi susah. Berhari-hari di kos yang isinya pasien luar kota yang rawat jalan,  tidak banyak variasi kegiatan karena harus berhemat. Teringat saya dan  ma Tati menyewa kamar kos di lingkungan rumah sakit. Meskipun kecil, kamar yang kami sewa ber AC dengan kamar mandi dalam. Ada penghuni kamar lain dari berbagai daerah  yang sudah berminggu-minggu menjalani rawat jalan.mereka menyewa kamar sederhana, panas, dengan kamar mandi yang dipakai rame-rame.  Ada seorang  Ibu dari Manggarai yang didiagnosa kanker payudara. Banyak  benjolan tumbuh di sekitar  payudara nya. Ia ditemani anak mantunya  menyewa kamar  sederhana (tanpa ac dan kamar mandi luar). Ia memasak supaya berhemat dan menghindari makanan berpengawet. Juga supaya ada aktivitas sambil menunggu jadwal tindakan tertentu.  Permenungan pelan-pelan terjadi. Tanpa saya sadari saya mulai menjalin relasi dengan orang-orang yang kehidupannya jarang saya sentuh. Saya menderita, tapi banyak yang lebih menderita. Saya mempunyai banyak masalah, tetapi mereka lebih lagi. Saya tak bisa tidur tapi saya tidak mengidap penyakit berbahaya lainnya. Seperti mukjizat  saya kata-kata ajaib itu muncul spontan tulus saat saya berdoa : “Terima kasih” Tuhan untuk semua yang saya alami.

Rupanya perjalanan ini masih panjang. Satu dua tahun saya bolak-balik pergi ke satu kota dan kota lain, mencari cara untuk sembuh. Saya putus asa. Tetapi aku bersuamikan pria dengan iman kokoh, yang percaya kuat akan hukum kebaikan. “Segala sesuatu akan ada jalan keluarnya, take it easy, itu prinsipnya.   Meskipun nampak sia-sia, segala jalan yang baik diupayakan. Pergilah, nikmati. Anggap saja perjalanan piknik, berobat hanya sampingan. (Apa ia bisa dibalik begitu)? Jiwaku didominasi perasaan menderita . Singkat cerita aku kembali menjalani  pemeriksaan medis dan segala jenis terapi. Aku tak asing dengan puskesmas,  klinik dan aneka tipe  rumah sakit, laboratorium, ruang akupuntur, apotek, bahkan tempat yoga dan aneka relaksasi. Aku berteman dengan dokter-dokter terkenal dan lincah menjelaskan jalur-jalur yang harus dilalui pasien rujukan.  Aku membayar mahal  hypnotherapy dan terapi ozon. Mau ke dokter mana, aku pasti punya kartu namanya: dokter spesialis kesehatan tidur, dokter ahli kejiwaan, dokter spesialis akupuntur dan tanaman herbal, fisio terapi, terapi ozon, yoga, hypnotherapist, ahli gizi dan sebagainya. 

Apakah aku sembuh dari tekanan mental? Apakah aku kembali tidur dengan normal? Apakah pergi dengan biaya tak sedikit itu ada manfaatnya? Dokter mana yang menyembuhkan?  Sejauh ini belum ada kesimpulan definitif.

Bohong jika aku bilang  tidak ada hasil dari trip rumah sakit ke rumah sakit itu. Terapi-terapi itu melenyapkan banyak keluhan dan kualitas kerja tubuh ragawiku menjadi lebih baik. Pengetahuanku tentang masalah kesehatan bertambah. Kulitku bahkan menjadi mulus dan segar, pencernaanku jarang bermasalah lagi. Gaya hidupku pun berubah: semakin ke sini kami terbiasa minum jus, makan makanan sehat, dan rutin berolah raga. Aku menggiring keluargaku untuk tidak alergi terhadap pemeriksaan medis tanpa menjadi hipokondriak (=terlalu takut sakit). Namun yang lebih berarti adalah aku mendapatkan resep itu:  sepandai-pandai dokter, secanggih-canggih rumah sakit, semanjur apa teori terapi, sesaleh apapun orang yang mendoakan kita : tanpa keiklasan kita sendiri menerima situasi dan tanpa keterbukaan  pada peran dan kebaikan orang lain, rahmat itu tidak akan berhasil masuk ke dalam diri kita.  Anggap saja petualanganku adalah percobaan, trial and error.  Saya tidak mengatakan bahwa pergi ke rumah sakit dan dirawat paramedis ternama  itu tidak perlu. Kita bisa memilih siapa saja untuk mengobati diri kita. Namun  penerimaan kita terhadap masalah (termasuk sakit) akan menjadi pintu awal yang terbuka untuk penyelesaiannya. Aku pergi ke sana ke mari karena panik. Aku memberontak dan menyangkal keadaanku. Aku pergi ke dokter dan ahli-ahli lain namun tidak sepenuhnya yakin dan berserah pada peran mereka. Aku meragukan obat dan berprasangka. Aku tidak ikhlas untuk sakit namun tidak memberi diri untuk dilayani penuh. Aku pergi ke sana ke mari dengan pengorbanan yang besar namun tidak memberi manfaat karena aku ngotot dengan ekspektasi besarku, dan menganggap tidak berarti keadaan lain yang masih baik. Supaya bermanfaat aku kemudian berpikir bahwa satu-satunya manfaat kepergiaku adalah : aku menemukan bahwa  cara untuk pulih kadang ada di dalam diriku sendiri.

Adalah suami tercintaku, ialah  yang membimbing aku untuk menyadari kekuatan diri. Ia sengaja meminta aku bepergian karena kata-kata tak mempan untukku. Aku harus merasakan dan menjalani. Makna kesia-siaann berkorban akan menjadi terbalik ketika aku sampai di titik tertentu. Suamiku diam-diam merancangkan seni bepergian untuk mengetahui kekuatan diri. Dia-lah yang memperkenalkanku pada ‘latihan mengucapkan berterima kasih’. Tidak dengan pidato yang meletup-letup tetapi dengan pendekatan yang pelan dan teladan.  Salah satunya adalah membawa aku ke alam.

Suamiku mengajakku jalan-jalan di sekitar rumah. Sambil foto-foto bunga beliau menggiringku untuk kagum. Saatnya berdoa ia memulainya dengan mengucapkan terima kasih untuk udara yang segar atau hujan yang lebat atau untuk kaki yang bisa berjalan-jalan itu. Ketika aku hampir menangis suamiku bilang: kita berterima kasih karena kita bisa menangis. Meskipun tak bisa tidur kita berterima kasih karena bisa berbaring di rumah yang hangat. Begitu terus. Kedengarannya klise tetapi lama kelamaan saya mendapatkan kekuatanku.

Kami mulai sering ke kampung-kampung: menikmati alam, memperbaiki hubungan dengan sesama anggota keluarga, ngobrol dengan orang-orang dan berfoto. Menjerit dan tertawa-tawa saat digigit lintah, bertengkar di mobil lalu baikan lagi, mengunjungi keluarga sambil mandi di laut, pulang kampung dan mencari kemiri. Perasanku meski sangat pelan beralih dari sedih ke-kurang sedih dan masuk ke nyaman. Berjam-jam kami mengamati induk burung yang memberi makan di sarangnya (di kebun samping rumah) dan kami membicarakan itu. Semakin sering ke laut, ke gunung, ke hutan dan ke danau : rasanya seperti berdoa. Kami berjalan kaki tanpa arah di gang-gang kota, mentertawakan hal-hal sepele, selfie di hutan. Menabung dan berhemat supaya bisa pergi ke tempat dan pulau yang lebih jauh. Kehidupan orang lain menjadi inspirasi bagi kami, memberi sudut pandang lain tentang nikmatnya bersyukur. Perjalanan kami tidak selalu untuk hal-hal romantis yang enak. Kami juga bepergian untuk urusan sakit, kedukaan, atau menyelesaikan perkara. Kami bepergian untuk berdoa, untuk urusan kerja. Suamiku memandu kami untuk berterima kasih untuk kesempatan itu.  Hatiku tersenyum mengingat kisah saung ndusuk , kepalaku sejuk ketika mandi di pancuran Wae Wua. Ototku tertawa terbahak-bahak saat Iel  menceritakan kembali monyet di hutan Rana Mese. Bahkan saat suasana duka kami masih bisa tersenyum mendengar obrolan nenek-nenek di sudut ruangan.  Puas rasanya memaerkan foto bunga-bunga liar di pinggir jalan dan sekitar danau. Mau muntah rasanya waktu anak-anak berdebat soal kotoran kerbau yang masih encer atau saat mereka bertengkar karena mau kentut. Bahkan burung-burung kecil yang sedari dulu berkeliaran di depan jendela kamar mendadak menjadi sesuatu yang sangat istimewa.  Kami membaca buku tentang hewan, tanaman, tempat-tempat indah di dunia dan menghayalkannya.  Setiap kali rasa takut itu muncul kami mendiskusikannya dan mencari senjata melawannya. Saya takut terbang tapi melawannya dengan hayalan indahnya Pulau Bali. Aku takut mabuk naik mobil tetapi sepupu suamiku mengiming-imingi sedapnya berendam di pasir pantai Reo. Begitu seterusnya.   Mulanya berat dan malas, lama kelamaan nikmat dan ketagihan. Aku semakin menemukan kekuatanku dan akhirnya aku berhasil dengan gagah berani berkata : TUHAN TERIMA KASIH UNTUK HIDUPKU; UNTUK MASALAH DAN JALAN KELUAR; UNTUK TIDUR DAN TIDAK TIDURKU; UNTUK PULIH DAN TIDAK PULIH KU. TERIMA KASIH UNTUK SEMUA PELAJARAN YANG KUTERIMA. TERIMA KASIH UNTUK RASA FRUSTRASI YANG PERNAH KUALAMI DAN UNTUK DAMAI YANG MENGIKUTINYA

 Sejak itu pil-pil (vitamin, relaxan, anti nyeri atau apapun namanya) mulai bekerja. Nutrisi dan olah raga menampakan hasilnya. Tubuhku menjadi jauh lebih kuat bahkan saat melewati hari-hari tanpa tidur, aku masih terlihat cakep.  Pikiranku jauh lebih damai dan santai sekalipun kadang-kadang masih panik dan marah. Aku masih berkomunikasi dengan dokter tetapi aku tidak  hipokondriak. Menangis masih menjadi ciri khas ku tetapi aku tidak terjebak lagi pada kesedihan yang berkepanjangan. Aku  masih ngeri dengan banyak hal terutama berita kedukaan tetapi ada kekuatan untuk percaya bahwa begitulah rumus hidup.  Badanku asam jika anak-anakku jatuh sakit tetapi aku percaya mereka akan menjadi kuat setelah itu. Aku masih gugup bepergian meninggalkan anak-anakku tetapi aku dihibur bahwa ketika pulang aku bisa membawakan mereka cerita-cerita menakjubkan.

Berangsur-angsur tubuhku pulih dan malah semakin kuat. Kadang-kadang aku merindukan ‘kantuk’ tetapi  tidak depresi seperti waktu itu. Perlahan aku mendapatkan tidurku meskipun tidak semudah dahulu. Aku tidak berubah menjadi malaikat tetapi pikiran positif ku mulai bersemi, dan aku lebih menikmati hidup. Aku butuh bantuan orang lain dan aku berjuang rendah hati untuk berserah sekalipun aku tidak selalu paham. Aku mendapatkan peneguhan dari pertemuan-pertemuan dengan para dokter (beberapa dokter yang kutemui sangat relijius), psikolog, ahli gizi dan olah raga termasuk tukang pijat, tukang kepang rambut, sesama pasien di ruang tunggu,  ibu pekerja hotel,  pengemis, perawat, dan  orang-orang yang hanya melintas.  Aku menjadi penikmat lejong (=aktivitas bertandang ke rumah orang lain) dengan mama mama tetangga, bergosip dan tertawa keras. Aku tidak mengabaikan makna kegiatan khas perempuan: ke pasar, ngobrol dengan tukang ikan, belanja, memakai kuteks, bahkan saling menggaruk ketombe. Aku juga menerima pertengkaran kecil dengan suami atau saudara dan teman. Aku berusaha menikmati rasa kecewa karena tidak mendapatkan yang kuinginkan.  Aku berlatih menghitung berkat-berkatku (lihat tulisan 101 Berkat  menjadi Mama Lila). Aku belajar menerima bahwa aku tidak sempurna, dan bahwa aku tidak harus selalu menyenangkan orang lain.

Bepergian itu penting artinya bagiku. Tidak bearti lari dari kenyataan (meskipun kadang-kadang makna harafiah ini tidak selalu salah).  Alam secara langsung mendidik kita untuk menerima hukum bahwa segala sesuatu memiliki masanya sendiri.  Lahir, sakit, sembuh, meninggal, kuncup, berbunga, rontok, pasang, surut, cerah, mendung, hujan dan kemarau.  Kita pergi dan kita kembali. Dengan pergi kita bisa lebih mencintai rumah kita sendiri. Dengan melihat alam dan keadaan orang lain kita bisa lebih menghargai hati sendiri. Dengan mendapatkan banyak sudut pandang dan pendapat kita bisa memiliki pendapat sendiri tentang hidup.  Pergi untuk menyadari bahwa cara yang kita cari ada dalam diri sendiri. Tentu saja catatan ini tidak bermaksud menyamaratakan semua keadaan dan setiap orang. Aku juga tidak bermaksud membandingkan diriku dengan orang lain. Ini hanya sebuah kasus. Bepergian, meskipun nampaknya sia-sia sebenarnya tetap memberikan pelajarannya sendiri.

Di akhir kata, saya Lila : hidup penuh kelimpahan dalam cinta Tuhan. Dibantu oleh suami dan anak-anak keluar dari keterpurukan dan perasaan mengasihani diri. Masih menjadi mama yang suka merepotkan, tetapi lebih menerima keadaan dengan tenang. Tidak sepositif Papa leo, dan tidak setegar Mama Ancik, namun lebih  gembira dari hari kemarin. Masih cengeng namun semakin percaya bahwa hidup itu indah.

God is good, God is Great. Thank you God for my life.

Tulisan ini milik k Lila Jehaun dengan judul asli “PERGI MENCARI CARA  & ALAM MENYEMBUHKAN HATI”. Tulisan keren dan jujur yang menyadarkan bahwa, semua orang punya jalan dan cerita yang berbeda; syukuri dan tidak perlu membandingkan secara berlebih.

One comment

Komentar