Raihana Rafa Sadira Namanya

Raihana Rafa Sadira Namanya

Raihana Rafa Sadira Kelilauw namanya; putri Kelilauw yang diberi kebaikan dan kekayaan hati, arti dari nama itu.

Banyak yang bertanya, bagaimana rasanya melahirkan? Buat saya tidak ada kata yang cukup untuk menggambarkan semua prosesnya. Sakitnya, lamanya waktu berjalan, sebelnya liat suami yang mondar-mandir. Terkadang sekelebat pikir muncul, “Kenapa hanya saya yang kesakitan padahal ini semua kan harusnya kerja sama.”  Sampai kemudian saatnya tiba dan semua terasa lebih mudah. Segala sakit, panik, marah dan kesal hilang lenyap setelah mendengar tangisannya, melihat wajahnya dan merasakan kulit lembutnya. Muncul perasaan menyayangi yang beda, yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Ada suatu bentuk perasaan yang sulit untuk digambarkan dan didefinisikan.

Teringat kembali cerita tentang kehamilan sampai proses melahirkan 13 tahun yang lalu. Cerita tentang ini untuk setiap perempuan tentunya tidak sama, ini adalah pengalaman pribadi yang entah kenapa pengen saja dibagi.

Mengandung 9 bulan dengan banyak suka duka.

Sukanya banyak sekali; perhatian dari suami, teman-teman dan saudara adalah salah satu yang paling banyak dinikmati. Ngidam adalah satu kekhasan kehamilan yang mungkin tidak dialami semua perempuan. Kalau saya sih sejujurnya waktu itu tidak terlalu pengen juga sama yang namanya udang tapi karena suami bersedia ke Reo untuk cari udang maka ngidamnya malah jadi beneran. Salah satu bentuk ngidam yang cukup riskan buat saya waktu itu adalah pengen minum Coca-Cola, secara bumil sudah diwanti-wanti untuk tidak mengkonsumsi minuman bersoda.

Salah satu perubahan yang paling berasa pas hamil adalah perubahan berat badan.  Sepanjang 9 bulan selalu ada kenaikan BB di setiap bulannya. Waktu itu total kenaikan berat badan sampai saatnya melahirkan adalah 15 kg. Ini rekor penambahan berat badan paling wahid selama 28 tahun kehidupan dan untuk ini kemudian agak bingung menentukan, ini masuk kategori suka atau duka. Hehehe

Merasakan gerakan jabang bayi di dalam perut adalah pengalaman yang benar-benar baru dan sumpahhh itu keren. Untuk pengalaman ini, saya ingat mengirimkan pesan dan bercerita kepada semua orang yang saya kenal, agak-agak norak tetapi saya sungguh tidak peduli. Banyak perubahan dan cerita selama proses kehamilan dan saya hampir tidak bisa mengingat ada cerita dukanya.

13 Juni 2008

Kebiasaan bumil jelang melahirkan adalah bangun lebih pagi biar anak tidak pemalas katanya, selain itu juga biar bisa jalan pagi sehingga proses persalinan berjalan lancar. Rute tetap jalan pagi adalah Jl Pertiwi No 6 – bundaran Rumah Wunut – Toko Tarsan – naik turun tangga Katedral lama sebanyak 3x. Khusus hari itu, setelah jalan pagi berasa ada yang aneh dan setelah konsultasi dengan Oma, jawabannya “Su dekat waktunya, itu dia su tandanya.”

Langsung ke dokter untuk pemeriksaan awal, sejujurnya bukan ke dokter tapi mendatangkan dokter ke rumah. Saya punya beberapa teman dokter dan waktu itu yang paling dekat adalah dokter Vivi Lambo, yang kemudian datang dan bilang “Ok Jean, pembukaan 1”.

Entah bagaimana dia menentukan hal itu dan prosesnya sangat tidak enak. Untuk bagian ini saya masih sering juga bertanya, “Tidak adakah metode lain yang lebih menyenangkan untuk menentukan soal pembukaan ini?”.

Sampai dengan hari Minggu tanggal 15 Juni 2008, tidak ada tanda-tanda lanjutan berupa sakit pinggang atau apa pun. Sebagaimana pengalaman para senior, sebagai penanda bahwa waktunya semakin dekat. Mulai khawatir dan sadar ada yang salah. Ada cairan yang terus “merembes” keluar tetapi pembukaan mentok dipembukaan kedua.

Senin 16 Juni diputuskan untuk melakukan pengecekan ke RSUD. Setelah (lagi-lagi) cek pembukaan dan detak jantung, ternyata semua masih baik-baik saja dan terkendali.

Selasa 17 Juni 2008

Rasa sakit sesekali muncul sejak pagi. Karena malu sama mertua (biar terlihat kuat plus sedikit PD dan sok tau) maka sepanjang pagi hanya meringis sendiri. Berusaha terlihat baik-baik saja dengan mondar-mandir dalam rumah, jalan-jalan ke taman bunga depan. Mau keluar agak jauh malu juga, soalnya sudah sarungan sejak hari Jumat. Hehehe.. Semua ada batasnya, jam 5 sore sakitnya sudah tidak tertahankan maka jebollah pertahanan sok kuat dan sok tidak cengeng itu.

Drama dan tangisan dimulai. Sampai jam 7 malam masih menangis dengan sopan, masih agak jaim sama mertua dan teman-teman yang sudah datang ke rumah. Memasuki jam 8 malam ketika sakit itu semakin sering datang dan agak tidak masuk akal, menurut saya tentunya, sopan santun itu mulai agak berkurang. Maka bisa dipastikan suami, yang wajahnya juga sudah sama hancurnya, menjadi korban dan sasaran utama untuk remasan, cubitan dan kadang sedikit flungku yang intensitasnya semakin tinggi bersama waktu.

Dokter Vivi, yang terkenal paling sabar di antara kami semua, bilang bahwa pembukaannya belum apa-apa. Tidak perlu ke RS di rumah saja dulu biar lebih nyaman katanya.

“Makan saja dulu Jean, santai, istirahat dan kumpul tenaga e. Dari pada lama di RS mending lama di rumah, lebih nyaman.” Tentu saja ini saran terbaik yang bisa diberikan sebagai sahabat dan dokter,  tapi justru karena kami dekat, jadi waktu itu saya malah ngomel-ngomel dan terus bilang “Sakittttt..” dengan sedikit “nggule” (lirikan tajam) tanda emosi.

Kalau diingat lagi, suasana waktu itu benar-benar mencekam.

Karena seisi rumah jadi ikut panik dan bingung. Oma dan Opa sudah lama tidak melihat dan mengurus orang melahirkan, apalagi anak dan anak mantu sendiri karena kakak-kakak semuanya jauh. Seharusnya dengan melihat wajah opa Amir saja sudah sangat menenangkan; dengan tasbih di tangan dan doa yang selalu terucap tanpa suara. Oma berusaha lebih tenang walaupun sebenarnya sama juga paniknya. Oma bolak balik bertanya kira-kira mau makan apa supaya sakitnya bisa berkurang? Saya pikir Oma waktu itu berusaha untuk mengalihkan perhatian saya ke makanan dan bukannya kerasa sakit. Sumpahhhh, kalau diingat lagi banyak malu dan menyesalnya karena sudah menciptakan kegaduhan itu. Tapi saat itu semua susah dikontrol, termasuk wajah tidak bersahabat dan ocehan-ocehan tidak bertanggung jawab yang terucap atas nama kesakitan.

Semua yang pernah mengalami momen ini tentu punya gambaran siapa yang jadi bumper untuk diomelin, disalahkan, dicubit dan semua hal buruk yang bisa dilakukan saat kesakitan. Yups, dialah orang yang disebut suami hehe, maafkanlah tetapi kondisi dan situasinya benar-benar susah dikontrol.

Kurang lebih jam 21.00 Wita, akhirnya ke RSUD. Yang mengantar ke sana juga tidak main-main; sang suami yang sudah mulai ada belau (memar) bekas cubitan di beberapa bagian lengan, Shanty dan Rino, dokter Vivi Lambo. Ada Oma Seri Weo yang selalu setia dengan lelucon dan kegesitan yang menyaingi bidan terlatih plus beberapa saudara yang lain. Benar-benar pasukan lengkap.

Ketika sampai UGD ternyata malam itu cukup banyak ibu yang akan melahirkan.

UGD penuh dengan rintihan dan teriakan, maka tensi dan angka kepanikan merangkak naik dengan cepat. Kesaksian para pengantar, waktu itu rintihan dan teriakan saya adalah yang paling spektakuler. Mungkin karena bawaan penyiar radio, padahal secara pribadi saya merasa sangat sopan ketika itu dengan “hanya” menggigit lengan pak Rustam ketika kesakitan. Salah satu saudara yang masuk kategori preman dengan tato disebagian besar tubuhnya sampai memohon supaya saya berhenti merintih, “Rontok semua sap tato dengar k Jean punya menangis. Andai sa bisa gendong atau pindah sakitnya kaaa kae biar kasi saya saja sakitnya.”

Setelah sakit yang cukup panjang ditambah dengan banyak drama, diantaranya hampir mematahkan jari Shanty untuk mengalihkan rasa sakit dan melempar Vivi ke tembok dengan kekuatan yang entah datang dari mana. Belum lagi semua makian, umpatan dan teriakan yang menggemparkan. Yang paling ekstrem adalah keputusan untuk tidak melihat pak suami di dalam ruang persalinan, dan untuk ini dia sempat menjauh sebentar untuk kemudian kembali lagi dan menunggu di balik pintu.

Jam 02.45 hari Rabu 18 Juni 2008 lahirlah seorang bayi perempuan yang tidak berambut, berkulit gelap dan bermata sipit.  RAIHANA RAFA SADIRA KELILAUW namanya; putri Kelilauw yang diberi kebaikan dan kekayaan hati, arti dari nama itu.

Terima kasih Tuhan dan semua yang sudah ikut berjuang dan membantu proses indah itu.
Terima kasih juga buat Vince Gill dan Alan Jackson yang sudah menemani saya membuat tulisan bergenre curhat nostalgia ini. Sakitnya? Hehehe buat saya sepertinya lebih sakit pas dijahit deh. Karena tidak ada yang rasa sakit yang terekam sebelum proses “jahit menjahit” itu.

Salam dari Borong

One comment

Komentar