Loyalitas vs Ego

Loyalitas vs Ego

Beberapa minggu terakhir sepertinya saya sering sekali bertemu dengan kata loyalitas.  Dalam percakapan sehari-hari, beberapa teman mendiskusikannya dengan cukup serius.  Keseringannya kemudian menimbulkan rasa penasaran untuk mencari tahu lebih banyak tentang loyalitas.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan loyal sebagai kepatuhan, kesetiaan. Rangkuman dari banyak sumber kemudian mengartikan loyalitas sebagai kualitas dari kesetiaan dan kepatuhan terhadap sesuatu atau seseorang  yang kemudian tergambar pada sikap dan tindakannya. Melihat artinya, saya kemudian berpikir bahwa loyalitas menjadi penting untuk diaplikasikan pada semua lini kehidupan.

Sebagai seorang manusia, loyalitas pada Tuhan sebagai yang empunya kehidupan adalah mutlak. Menjalankan perintah-perintahnya dan menjauhi larangannya; semua orang tahu bahwa ini adalah definisi dari “taqwa” dan buat saya ini adalah bentuk loyalitas yang hakiki kepada-Nya. Apapun agamamu, bagaimanapun caramu menyembahnya, selama masih percaya bahwa ada yang mengatur hembusan angin dan kapan daun jatuh dari pohon, maka bertaqwa adalah mutlak.

Loyalitas sebagai seorang manusia pada sesamanya mungkin akan lebih rumit, karena setiap orang akan punya pemahaman sendiri.

Secara pribadi saya kemudian mencoba membuatnya sederhana dan logis. Sebagai seorang suami atau istri maka wajib hukumnya untuk loyal kepada pasangan. Seorang anak seharusnya menunjukan loyalitas secara santun kepada orang tua. Untuk seorang teman, maka loyalitas adalah milik pertemanan itu sendiri dan ketika saya adalah seorang bawahan maka loyalitas sebaiknya diberikan kepada atasan.

Saya hampir yakin bahwa loyalitas terhadap orang tua dan pasangan tidak akan diperdebatkan.
Tetapi untuk teman dan atasan, beberapa tangan mulai mengacung untuk interupsi.

Perdebatan akan agak panjang ketika bicara loyalitas dalam pertemanan.

Karena berteman itu tentang “saling” maka loyalitasnya pun soal saling itu. Saling menghargai, saling sayang, saling percaya, saling dukung dan yang saling (baca:paling) penting adalah saling menjaga. Loyalitas dalam pertemanan teruji ketika hal-hal sulit menemani perjalanan hidup. Teman yang loyal akan selalu ada, mendukung dan menemani. Bukannya menuntut balas atau mengabaikan ikhlas tetapi ini tentang penghargaan.

Menghargai pertemanan tidak perlu dengan materi, tidak juga tentang kehadiran dan duduk bersama selama 12 jam. Menghargai pertemanan kadang cukup dengan ucapan selamat untuk hal baik dan tidak membuka ruang diskusi untuk hal buruk yang terjadi. Bukan juga tentang membelikan baju mahal sebagai hadiah, cukup dengan membenarkan krah baju yang kurang rapi karena sama-sama tahu bahwa keren itu bawaan badan bukan bawaan merk. Berteman itu tentang berdiri bersama ketika susah dan mundur ketika senang, karena tahu ketika “jatuh” seorang teman butuh penopang supaya tidak ambruk.

Loyalitas adalah tentang kepatuhan dan kesetiaan. Ketika kita loyal pada sebuah pertemanan dan ternyata orang lain tidak melakukan hal yang sama maka sebaiknya pertemanan itu turun level. Sebagian dari kita mungkin pernah ditempatkan pada posisi harus memilih untuk loyal pada teman atau atasan. Ini pilihan yang sulit, tetapi saat itu saya memilih untuk loyal pada atasan.

Saat itu, dan sampai sekarang, alasannya sederhana dan tetap sama. Ada aturan dan konsekuensi yang tertulis hitam diatas putih ketika loyalitas itu diberikan kepada atasan dalam kerangka profesional. Loyalitas pada atasan seharusnya tidak akan mengecewakan selama kita paham aturan yang memayunginya.

Siapapun atasanmu, seberapa besarnya pun ketidaksukaan-mu padanya, sebodoh apapun dia dimatamu, terimalah bahwa dia atasanmu yang harus kau ganjar dengan loyalitas.

Selama secara yuridis dia adalah atasanmu dan semua masih dalam koridor aturan, maka berikan loyalitas itu padanya.

Ceritanya tentu menjadi berbeda ketika bicara loyalitas yang membabi buta; tanpa memahami aturan.

Judulnya loyal saja dulu, benar atau salah, sesuai aturan atau tidak kita bicara nanti. Jangan loyal karena dia royal, karena untuk ini ujungnya akan berhamba pada kepentingan fulus. Jangan loyal karena menginginkan sesuatu darinya, karena untuk ini akan berakhir pada sikap memalukan yang disebut dengan “cari muka”.
Membicarakan loyalitas pada atasan susah sekali dipisahkan dengan ego. Setiap orang akan merasa sebagai yang benar.

Rasa paling tidak enak mungkin adalah ketika temanmu menjadi atasanmu.

Ego dan loyalitas kadang berperang dalam drama yang rumit disini. Ketika egomu bicara tentang lebih pantas; secara kecerdasan, secara usia, secara kematangan dan kemapanan, maka rendah hatilah. Kalau rendah hati terasa sangat sulit maka ini saatnya menyalahkan umur, siapa suruh lahir belakangan.

Atau salahkan takdir yang membuatmu jalan-jalan pas pembagian nasib siapa cepat jadi atasan. Kadang yang perlu dibuat hanyalah berdiri dan memberikan tepuk tangan untuk capaian teman dan/atau atasanmu, karena saatmu juga akan tiba; on the way kata anak gaul.

Loyalitas sederhana saya adalah mendengarkan lagu country sebagai teman merenung dan menulis; sambil ngopi tentu saja. Karena buat saya lagu country dan kopi itu seksi, dan seksinya itu adalah timbal balik yang dia sajikan untuk loyalitas yang saya berikan.
Sesederhana itu.

Salam dari Borong

Tulisan ini pernah dimuat di Derana.id pada Juni 2021

One comment

Komentar