Ibu yang Sempurna Adalah Ibu yang Tidak Sempurna

Ibu yang Sempurna Adalah Ibu yang Tidak Sempurna

Sejak remaja hidup saya selalu terkait dengan anak-anak. Bermain dengan anak-anak, belajar bersama dan mengasuh sementara anak-anak. Pada saat itu kadang-kadang saya berhayal memiliki anak  sendiri dan merancangkan menjadi ibu macam apa saya kelak. Saya berpikir saya akan menjadi ibu yang sempurna (versi saya) nantinya. Tentu saja yang saya bayangkan saat itu adalah sesi-sesi hidup seperti yang saya lihat di sinetron, foto-foto di majalah atau pemandangan keluarga bahagia di tepi pantai. Memakaikan anak pakaian lucu, bernyanyi, berbicara dengan bayi atau menghabiskan banyak waktu untuk bermain. Tidak terlintas dalam bayangan saya betapa berbaliknya perasaan seorang wanita ketika ia menjadi ibu.

Memasuki perkawinan dengan optimis, saya kembali yakin bahwa saya akan menjadi ibu yang sempurna (sekali lagi versi saya).

Sebulan setelah menikah surga mengirimkan hadiah itu. Saya hamil dan itulah saatnya saya membuktikan bahwa saya adalah ibu sempurna. Nyatanya semua terjadi di luar sangkaan. Alih-alih membuat foto hamil ceria dan menulis kisah kehamilan, untuk menelan makanan saja saya kesulitan. Saya bahkan mabuk sepanjang kehamilan, bahkan hingga dirawat di rumah sakit karena hyperemesis. Saya bahagia dengan kehamilan ini tetapi berbohong jika mengatakan tak mengeluh.  Hari-hari terasa panjang dan membosankan. Semua hal Bisa menjadi penyebab saya mual dan muntah, bahkan ketika melihat iklan mie instan di televisi. Perhatian ekstra dari suami dan ibu mertua tidak membuat mual dan muntahnya berkurang. Awalnya saya masih punya optimisme bahwa setelah bulan kegika mual muntah ini akan berkurang. Namun setelah memasuki bulan kelima, keenam, ketujuh bahkan kedelapan saya masih sulit makan minum bahkan masih muntah terus menerus; saya terpukul. Selain merasa sangat lelah dan bosan yang utama adalah merasa terpuruk: “Bagaimana bisa menjadi ibu jika awalnya saja sudah begini?”  Saya menangis dan merasa baikan. Namun setelahnya merasa bersalah karena ‘menangisi’ sesuatu yang saya impikan sebelumnya. Saya merasa gagal, ternyata menjadi ibu sempurna itu sulit bahkan tidak mungkin untukku.

Baiklah saya kembali coba bersemangat dengan label ‘biarpun saya bukan ibu sempurna’. Dimulai dengan memaksakan diri minum susu meskipun sebagiannya akan keluar lagi. Membeli baju-baju hamil yang cantik, memakainya dan berusaha senang meskipun itu tidak mengurangi aktivitas mual muntah. Saya bermain bersama keponakan dan anak-anak tetangga, memandang wajah-wajah kotor nan lucu itu. Menemui dokter yang kemudian menyarankan agar saya berhenti membaca buku hamil dan melahirkan (yang ilmiah); kecuali yang lucu-lucu. Ajaib. Sembilan bulan  berlalu dan saya melahirkan bayi yang sehat dan air susu melimpah. Mual muntahnya lenyap dan saya kembali bisa melahap semua makanan.

Apakah saya akan menjadi ibu sempurna ?

Punya bayi baru; bangun tengah malam untuk menyusui dan mengganti popok. Sibuk sepanjang hari bahkan tak punya waktu menyisir rambut. Badan menjadi gendut , beraroma amis dan terutama tak berhenti mencemaskan si bayi. Tak ada rumah seindah di tabloid interior (dulu saya berkhayal punya rumah berdesain manis dan rapi).  Tak bisa jalan-jalan berdua sesering mungkin (bukan karena tak ada waktu atau tak ada yang mengurus bayi tapi karena saya yang merasa bersalah jika meninggalkan si-bayi). Payahnya ternyata bayi dan anak-anak tak mungkin bertumbuh tanpa panas deman, sembelit, radang tenggorokan, muntah dan sejenisnya. Semua itu menguras energi: fisik dan emosi. Bahagianya punya anak tetapi disaat yang sama saya tidak bisa sungguh menikmatinya. Terlalu takut titipan Tuhan itu kenapa napa karena saya tak sanggup mengurusnya. Suami dan mama mertuaku pandai mengurus bayi (sekarang saya mengakui, bahkan tulus mengakui, mereka jauh lebih jago dari saya), tetapi saat itu saya bahkan tak sungguh mempercayai mereka dalam hal ‘bayiku’. Begitulah sekali lagi saya merasa bukan ibu yang sempurna.

Lantas bagaimana bahagia menjadi ibu?

Mengapa orang-orang lain tampak santai menjadi orang tua dan anak-anak mereka baik-baik saja? Bagaimana saya bisa menjadi seperti mereka? Apakah saya harus melepaskan pekerjaan dan berada di rumah sepanjang hari?  Bagaimana dengan urusan mencari nafkah?  Dalam waktu yang sangat lama saya berjuang menuju ‘menjadi ibu yang sempurna’ dan kemudian tersudut oleh kesimpulanku sendiri : saya bukan ibu yang sempurna. Saya lalu mulai melitani kegagalan selama menjadi ibu. Pernah meninggalkan bayiku untuk urusan pekerjaan dan ASI-ku terbuang percuma sementara di rumah bayiku minum susu sapi. Saya menjadi tegang dan marah ketika anakku tak mau berhenti menangis. Saya merasa ‘harus disalahkan” ketika anakku sakit. Merasa bukan istri yang baik karena tak pernah membuat kopi untuk suami atau tidak membersihkan kamar tidur… bla bla bla

Sampai suatu hari di ulang tahunku.  Saya dan suami duduk di dalam tempat tidur berkelambu (persis tenda perkemahan karena saya tak mau seekor nyamuk pun menyentuh kulit anakku). Sambil aku menyusui bayiku, suami memandangku lekat dan mengucapkan sesuatu. Lebih dari selamat ulang tahun, dia bilang, “Terima kasih sudah menjadi istri yang baik dan ibu yang sangat hebat bagi anak kita!”

“Apanya yang hebat, saya ibu yang cengeng!” dan saya mulai menangis

“Engkau ibu yang hebat!” dia kembali menyakinkan.Setidaknya itu menghiburku.

Tahun-tahun berlalu. Saat ini saya adalah ibu dua orang anak dan banyak anak lain yang menyertai yang kusebut sebagai anak-anakku (tentang anak-anakku ini bisa dibaca pada tulisanku yang lain). Dengan tulus suamiku berulang-ulang mengatakan bahwa saya adalah ibu yang baik. Suami dan anak-anak sering memelukku dan mengucapkan terima kasih dibanyak kesempatan.

Selain pernyataan dan perlakuakn suami dan anak-anakku, diatas segalanya saya merasa sangat berbahagia karena anak-anakku tumbuh sehat, cerdas dan baik hati.

Saya menikmati kelucuan mereka termasuk kenakalan, kecengengan dan kenakalan mereka. Saya jatuh cinta setiap hari pada gadisku yang malas menyisir rambut dan pria kecil manisku yang sering merusak tanaman serta mengotori apapun di rumahku. Saya terharu ketika si sulung bercerita tentang hal baik yang dilakukannya dan terbahak-bahak setiap kali si bungsu membuat teka-teki aneh. Saya boleh merasa sombong ketika melihat perilaku anak-anakku yang menghargai lingkungan dan membuang sampah pada tempatnya.  Saya bangga dipercayakan Tuhan untuk menjadi ibu anak-anak itu.

Saya memang masih cengeng mewek (kadang lebih cengeng dari anak-anak), masih egois, malas untuk banyak hal, kadang-kadang melakukan kekerasan (kecil) pada anak-anakku, dan hal-hal lain yang membuat meyakinkan bahwa saya bukan ibu yang sempurna. Tetapi ketika melihat anak-anak tumbuh, saya seperti menonton keajaiban dan saya adalah salah seorang perancangnya. Saya adalah ibu yang  beruntung. Saya sudah tidak peduli lagi dengan label sempurna atau tidak sempurna. Kalaupun memiliki banyak kekurangan, ketika Tuhan menitipkan anak pada sebuah keluarga maka Ia akan mengirimkan banyak orang baik  yang akan membantu membesarkan anak itu. Saya punya orang tua, adik kakak, mertua, ipar, teman dan tetangga juga para kerabat yang sangat membantu peranku sebagai ibu. Kehadiran mereka selain membuatku lebih nyaman dan tenang juga menolongku untuk merawat bayi dan memberi ruang bagiku untuk menjadi diri sendiri. membantuku untuk tetap dapat bersenang-senang dan melakukan hal-hal lain yang tidak bisa dikesampingkan begitu saja dengan alasan “sudah punya anak”. Saya tetap bisa memberikan yang terbaik untuk anak-anak tanpa mengurangi kualitas sebagai istri yang cantik (untuk suamiku), guru yang menawan untuk anak-anak didikku, teman yang seru, dan pelayan Tuhan dalam ibadah. Meskipun lahir dari rahimku, kehadiran anak dalam sebuah keluarga juga memberikan ruang bagi orang lain untuk menunjukkan kebaikan dan kasih saying bagi kita.

Aku percaya kata-kata suamiku : ibu yang tidak sempurna adalah ibu yang sempurna. Dalam ketidaksempurnaanku Tuhan mengirimkan orang-orang baik yang membantu membesarkan anak-anak dengan kasih tak sempurna yang kumiliki.

Mama Lila, September 2015

Tulisan ciamik ini diambil dari kumpulan tulisan kak Lila Jehaun. Selalu keren dan inspiratif.

Salam dari Borong

Komentar