Covid Vs Mama Cici

Covid Vs Mama Cici

Ketika Covid 19 menjadi bahasan ramai di seluruh dunia pada awal 2020, kami di Nusa Tenggara Timur (NTT) masih biasa saja. Alam yang keras membuat kami memiliki karakter tangguh dengan kepercayaan diri luar biasa bahwa Covid 19 tidak akan sampai di NTT. Kehidupan berjalan normal sampai para pimpinan (baca: pejabat pemerintah) mulai tumbang satu persatu karena sakit ini.

Kecemasan mulai masuk dalam perbincangan setiap harinya.

Yang utama adalah kesadaran dan pengetahuan bahwa sarana dan prasarana (sarpras) kesehatan kami di NTT belum sebaik sarpras di tanah Jawa. Informasi tentang ruang isolasi di rumah sakit yang mulai penuh menambah daftar kecemasan. Belum lagi tentang penguburan pasien Covid 19 yang punya banyak aturan dan semuanya bertolak belakang dengan budaya timur. Dalam budaya kami, orang meninggal akan melewati serangkaian acara dan ritual adat yang tentu saja akan melibatkan banyak orang. Prosesi pemakaman juga tidak sederhana, karena yang meninggal dipercaya harus dilepaskan dengan pantas untuk untuk kehidupan di alam berikutnya. Jika tidak melalui banyak prosesi itu, maka kemungkinan kehidupan selanjutnya akan sulit dijalani.

Informasi beredar tentang penyakit dari Wuhan ini lebih banyak yang menakutkan saat itu. Obrolannya juga hanya tentang kematian dalam kesendirian, jauh dari keluarga dan rumah. Sedikit sekali kelompok orang yang berkumpul dan bicara tentang optimisme kesembuhan dari Covid 19.

Ketakutan ini juga sampai kepada mereka-mereka yang memiliki penyakit bawaan. Bayangan kematian sepertinya semakin nyata, padahal sebelum itu optimisme adalah bagian dari udara yang dihirup setiap harinya.

Salah seorang rekan kerja saya adalah penyintas kanker payudara.

Namanya Sherly dan biasa dipanggil Mama Cici, sesuai nama anak sulungnya. Dia adalah ibu dari 4 orang anak yang setiap hari menempuh perjalanan puluhan kilometer dengan sukacita untuk ke kantor. Setiap hari mama Cici akan diantar oleh suaminya dengan jarak tempuh kurang lebih  30 km.

Jarang sekali melihatnya lelah apalagi bersedih. Keceriaan dan semangat kerjanya sering dijadikan contoh untuk rekan lain yang suka telat masuk kantor.

Didiagnosa memiliki kanker pada tahun 2018, membuat perjalanan selanjutnya menjadi sangat tidak mudah. Berobat jauh sampai ke Surabaya lalu menjalani kemoterapi sendirian di sana; karena biaya dan jarak yang jauh tidak memungkinkan keluarga menemani.

Setelah rangkaian kemoterapi dan proses panjang pemulihan, mama Cici kembali pulang dengan semangat dan optimisme yang lebih banyak lagi. Keceriaannya tetap sama, jarak tempuh yang jauh selalu membawa topik baru untuk diceriterakan sambil ngopi. Kanker bukan lagi momok menakutkan.

“Intinya harus berobat, ketemu dokter dan yakin bahwa Tuhan tahu yang terbaik untuk hidup kita,” berulang kali dia nyatakan ini. Optimisme dalam kalimat ini adalah dasar untuk banyak senyum dan pelukan setelahnya.

Lalu suatu hari di tahun 2021 mama Cici dinyatakan positif Covid 19.

Di tengah banyaknya kematian dan kenyataan harus diisolasi dekat rumah tanpa bisa dijenguk, ini berita yang lebih menakutkan daripada rangkaian kemoterapi katanya.

Ketika kemoterapi di Surabaya dan sendirian; kesadaran akan jarak dan biaya yang menghalangi  sangat membantu untuk melewati kesendirian itu dengan baik-baik saja.

Tetapi ketika ketika harus melewati hari di shelter yang jaraknya hanya sepeminuman kopi dari rumah tanpa pelukan anak-anak; rasanya lebih menyakitkan dari perjalanan sel kanker itu di dalam tubuh. Covid 19 bukan lagi hanya tentang sakit yang menyerang fisik tetapi tentang ketakutan harus menghadapi kematian itu sendiri.

Menahan sakit fisik itu jauh lebih mudah dibandingkan rasa kesepian saat di shelter kala itu. Banyak sekali ketakutan yang bermain dalam pikiran dan menghasilkan tangis yang lebih pilu dibandingkan ketika vonis tentang kanker dijatuhkan.

Berjuang untuk memenangkan pikiran-pikiran positif dan optimisme di saat semua hal seperti berkonspirasi untuk menjatuhkan mental sampai titik terendah.

Ketakutan akan kesadaran bahwa sel rusak itu akan berkembang biak dengan sukacita dan tidak terkendali dalam kondisi stres dan ketakutan.

Berjuang dalam hening dan ketakutan itu sangat tidak mudah tetapi harus.

Bukan saja supaya tetap hidup tetapi juga agar tetap waras.

Dua minggu di shelter adalah waktu yang terlalu singkat untuk melawan semua ketakutan dan terlalu panjang untuk menaklukan rindu pada rumah dan seisinya.

Kerinduan dan cinta yang banyak untuk mereka di rumah membuatnya berjuang melawan semua ketakutan dan pikiran buruk. Anak-anak butuh mama yang sehat dan kuat katanya dan ini adalah magnet yang memanggilnya pulang dari rasa putus asa.

Kembali pulang dengan keceriaan setelah isolasi 14 hari dengan hasil test yang negatif, mama Cici membuktikan banyak hal.

Pikiran positif dan cinta adalah obat mujarab yang hanya bisa ditebus dengan keyakinan; ini berlaku untuk semua jenis sakit.

Semua yang terjadi di antara kelahiran dan kematian adalah pilihan; ambil pilihan terbaik versimu dan jalani dengan yakin maka kau akan selalu baik-baik saja.

======= Salam dari Borong =======

Tulisan ini sudah dimuat dalam buku Nusantara Berkisah 3 “Bunga Setaman” bersama tulisan dari 40 penulis lainnya yang disponsori oleh Mas Dian Adryanto dan Mbak Urry. Terima kasih adalah kata yang tidak pernah akan cukup untuk kesempatan dan dukungan dari teman-teman #sayabelajarhidup

Komentar