Lagi rame di media sosial video seorang pejabat publik yang memperlihatkan sikap yang terasa kurang pas. Kurang pas secara aturan sosial umumnya. Secara pribadi dan ruang lingkup terbatas (circle beliau) sikap itu mungkin biasa saja. Saya termasuk netizen yang berpikir bahwa sikap beliau tidaklah elok sebagai seorang pejabat publik. Gestur dan nada bicara terutama, kesan angkuhnya kuat sekali.
Pejabat publik adalah abdi negara, baik yang dipilih langsung oleh rakyat maupun yang ditunjuk sesuai peraturan perundang-undangan, yang mengemban amanah rakyat untuk menjalankan pemerintahan demi kesejahteraan bersama.
Bukan kaleng-kaleng definisi, tugas dan tanggung jawabnya. Inilah kenapa pejabat publik biasanya lebih “didengar” dan menjadi panutan; karena mereka orang-orang terpilih. Sebab itu pula mereka mendapat perhatian lebih dari masyarakat; di dunia nyata pun dunia maya. Maka menjadi keniscayaan untuk selalu menjaga sikap dan omongan, terutama di ruang publik.
Seorang penjabat publik seharusnya bisa bertanggung jawab dengan jabatannya; minimal mencermminkan integritas, akuntabilitas dan profesionalisme.
Salah satu kemampuan dasar seorang pejabat publik adalah komunikasi.
Komunikasi merupakan bentuk interaksi manusia yang paling sederhana. Bentuknya tidak hanya verbal tetapi juga non verbal seperti: ekspresi wajah, bahasa tubuh, nada suara, penampilan, sentuhan, kontak mata, dan bahkan jarak tubuh. Intinya adalah ketika berkomunikasi ada pesan yang disampaikan, dicerna dan diharapkan pesan itu tersampaikan pada akhirnya.
Kemampuan komunikasi verbal seorang pejabat publik baiknya harus terus diasah. Posisi penting dalam masyarakat membuat pejabat sebaiknya bisa menyampaikan pesan dengan elegan. Para pejabat negara ini bahkan dibayar dari pajak masyarakat untuk bicara.
Jadi alangkah baiknya bicara tidak sekedar mengeluarkan bunyi berirama; minimal tak sia-sia pajak menjadi syarat segala urusan hari ini.
Bicara para pejabat publik harusnya terukur dan bermakna. Pilihan kata, gestur, nada bicara bahkan tatapan mata akan menjadi perhatian dan sangat bisa melahirkan beragam interpretasi. Bahkan menjadi gambaran kepribadian, kepantasan dan kepatutannya menjadi pengambil keputusan untuk nasib banyak orang.
Zaman now pejabat publik dituntut untuk kreatif dan menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.
Setiap orang dituntut untuk bisa hidup di dunia nyata dan dunia maya. Tuntutan ini kemudian dijawab dengan mempublikasikan kehidupan dunia nyata di media sosial untuk menjawab kebutuhan kehidupan modern. Ruang privat semakin sempit, segala hal seolah wajib dipublikasikan. Berlomba membuat atau dibuatkan konten saat ngobrol, diskusi, rapat, bahkan saat menikmati makanan (mewah).
Untuk konteks pejabat, ini mungkin penting sebagai salah satu bentuk kreativitas dan pertanggung jawaban sosial. Maka ramailah ruang medsos dengan para pejabat yang menyiarkan apapun yang dilakukan dan yang dibicarakan. Tidak salah tentunya. Hanya kadang menjadi aneh saja. Hehe.
Menjadi aneh ketika konten para pejabat publik ini hanya menjadi ajang pamer.
Ketika konten mereka susah dibedakan dengan konten publik figur. Cobalah berselancar di media sosial, akan banyak konten dari orang-orang (yang harusnya) hebat itu yang hanya berisi hal receh tanpa makna berarti.
Lebih ke ajang pamer jabatan dan beragam hal “wah” yang mengikutinya. Pengawalan, fasilitas dan kemudahan akses ke segala lini; privalege untuk banyak hal lah pokoknya.
Beberapa mencoba pamer kepintaran di media sosial. Berkomentar tentang beragam isu aktual, bukannya mencerahkan malah menimbulkan polemik tak berkesudahan.
Sebagian ingin sekali terlihat berpihak lalu berkomentar tentang masalah akar rumput tapi lupa berkunjung dan ngobrol mendalam dengan “rumputnya”. Sibuk berteriak soal sistem dan nasib rakyat jelata, lupa bahwa aturan berubah secara berjenjang; jatuhnya malah mempermalukan diri sendiri.
Beberapa pejabat publik punya kebun binatang dalam pikirannya, yang hanya butuh sedikit percikan api untuk meledakkan sumbu pendeknya. Keluarlah semua isi kebun binatang; lupa bahwa jabatannya membuat kamera pengawas bisa ada di mana saja.
Beberapa konten medsos bahkan jadi bahan candaan umum ketika siaran langsung dari ruang rapat malah mempertontonkan alur pikir tunggang langgang; asal bicara.
Risih rakyat melihat pameran (yang dipikir) kepintaran yang justru menunjukan ketidakmampuan mengekang hasrat untuk terlihat. Tanpa perlu berlebihan, para pejabat publik sudah dikenal dan akan didengar jika bicara ada “isinya”. Asli.
Karakter para pejabat publik sebenarnya mudah terlihat dari cara dan gayanya berkomunikasi.
Banyak yang bisa bicara tetapi masih banyak yang belum paham momentum; kapan, apa dan di mana. Ini bukan hanya soal kecerdasan, kepekaan juga penting. Kemampuan untuk tahu kapan harus bicara dan kapan harus diam adalah gambaran kecerdasan dan kematangan emosional.
Isi omongan yang terlihat dari pilihan diksi adalah gambaran kualitas seseorang. Orang cerdas mampu menyampaikan hal rumit dengan sederhana, menarik dan berbasis data. Teringat kehebohan beberapa waktu lalu saat seorang pejabat mengeluarkan pernyataan berdasarkan asumsi dan kesimpulan obrolan dalam travel. Pernyataan seorang pejabat publik harus dapat dipertanggungjawabkan, itulah sebabnya data menjadi penting. Biar tidak sekedar omon-omon.
Pemahaman tidak berbanding lurus dengan panjang kalimat dan pilihan kata mentereng. Penggunaan istilah asing terlalu sering malah terdengar seperti sedang menyembunyikan kebingungan sendiri.
Mencoba tidak bicara, beberapa pejabat publik berkomunikasi dengan cara menulis status medsos. Beliau sudah berusaha berpikir keras, tetapi netizen memaknainya sebagai bentuk teriakan butuh perhatian yang memilukan.
Hadeuh
Media sosial dengan beragam atributnya membuat manusia sering kehilangan kontrol diri.
Ketika sadar banyak yang melihat, semakin ingin kita diperhatikan. Ini seperti sebuah kutukan media sosial buat saya. Lihatlah banyaknya akun berkelas yang akhirnya turun pamor ketika mencapai puncak karena tidak konsisten keren. Sadar semakin banyak pengikut, konten malah jadi receh karena fokus mengikuti kemauan pasar. Lupa mempertahankan kualitas lalu kehilangan makna. Semakin banyak viewers dan likes, semakin berlebihan hasrat menonjolkan diri. Bicara tak lagi berisi, gestur menjadi berlebihan, nada suara semakin tinggi; entah apa yang dituju.
Harapannya kutukan ini tidak kena ke akun para pejabat publik, tapi sayang harapan tidak tercapai.
Fokus agar terlihat bekerja sampai lupa untuk benar-benar bekerja. Saat bekerja dan sadar kamera sudah on; kalimat, nada bicara dan bahasa tubuh menjadi tak terkendali menuntut dipertontonkan.
Maka kemampuan dasar berikutnya untuk seorang pejabat publik adalah kemauan dan kemampuan untuk mengendalikan diri dan mendengar.
Gaji yang dibayar dari pajak itu bukan hanya untuk apa yang para pejabat bicarakan, yang paling mahal adalah bayaran untuk mendengar. Sayangnya ketika sudah berada di ruang publik, secara umum kita lebih suka didengar daripada mendengar. Hehe.
Tentu saja tidak semua pejabat pulik demikian. Masih banyak yang memanfaatkan uang rakyat dengan benar.
Salam dari Borong
Gagah 👍👍