Pernah Semiskin Apa?

Pernah Semiskin Apa?

Pernah semiskin apa? Ini pertanyaan pernah saya temukan lewat diberanda Instagram. Pertanyaannya mungkin sederhana saja, tetapi buat saya lumayan mengganggu. Miskin kalau diartikan secara kamus adalah tidak berharta, serba kekurangan dan berpenghasilan sangat rendah (atau mungkin tidak memiliki penghasilan sama sekali.)

Tentu saja miskin bukan kondisi ideal yang diinginkan siapapun; tidak ada orang yang ingin menjadi miskin. Saya sih yakin sebagaian besar kita pasti pernah berada dalam situasi berkekurangan yang membuat kita untuk sesaat (atau pun cukup lama) berada dalam kondisi miskin.

Standar untuk seseorang dikatakan miskin juga sebenarnya masih bisa diperdebatkan.

Miskin untuk sebagian kita mungkin adalah kondisi tidak memiliki uang untuk membeli baju baru. Beberapa lainnya merasa miskin ketika belum bisa ganti handphone, karena yang lama dirasa jadul setelah berusia setahun. Lainnya akan berpikir bahwa mereka miskin karena anaknya tidak bisa masuk sekolah swasta favorit yang SPP-nya 3 kali UMR. Bedakan dengan sebagian lain orang yang tidak punya uang untuk mengganti sepatu anaknya yang sudah bolong setelah 2 tahun dipakai tanpa ganti. Ada juga keluarga yang harus mengencangkan ikat pinggang dengan membeli beras per kilogram; secukupnya untuk makan anak-anak saja dulu. Beberapa orang bahkan menikmati saja atap bocor di dalam rumah dan menjadikan proses memindahkan anak yang tidur sebagai bagian dari “serunya” musim hujan.

Untuk cerita hari ini miskin juga bukan hanya sekedar ada beras atau tidak di dapur. Miskin jaman now bukan lagi tentang menangis tersedu karena anak yang sakit tetapi tidak punya cukup ongkos untuk membawanya ke dokter. Bukan juga sekedar dompet yang kosong saat waktunya membayar uang sekolah. Miskin hari ini terkadang adalah cerita tentang sepatu branded yang tidak terbeli. Cerita tentang rumah layak yang “hanya” belum dipakaikan granit seperti tetangga sebelah dan kulkasnya belum berpintu dua. Kemiskinan hari ini juga tentang belum terbelinya skin care terbaru yang katanya bagus, walau harga menguras isi dompet.

Sungguh, urusan standard emang agak sensitif untuk dibicarakan.

Pernah semiskin apa?

Hahaha. Jadi ingat cerita harus minum air putih seharian karena uang kiriman belum ada dan gengsi terlalu tinggi untuk pinjam uang teman di rantau.

Pernah juga dengan wajah polos tak bernoda hadir dalam pernikahan entah siapa di salah satu gedung megah. Modal baju rapi saja biar bisa makan enak diakhir bulan yang menyedihkan. Keluar dengan cekikikan, membayangkan keluarga yang berpikir kami adalah teman para pengantin dan pengantin berpikir kami adalah kerabat jauh yang belum sempat dikenal.

Pernah juga datang dan berdiri sekian jam sehari untuk bisa membaca gratis di Gramedia. Harga buku sama dengan jatah makan seminggu jadi pilih baca gratis saja. Apa kabar si om satpam yang saking hafalnya, sampe menyembunyikan buku itu biar tidak keduluan orang lain. Dia hafal muka susah akyuu dimasa itu. Hahaha.

Ada saat juga ketika tidak punya uang sama sekali di dompet lalu anak minta jajan. Untuk bagian ini sakit hatinya yang bikin sesak. Pernah melewati moment ketika perabot rumah tangga yang ada semuanya adalah warisan dan hibah; mau malu tapi butuh. Aihhhh saat-saat itu….

Miskin itu tidak enak, tetapi bisa jadi batu penjuru untuk hidup lebih baik.

Saya mengenal dan beberapa kali ngobrol dengan orang-orang hebat yang hidup dalam kemiskinan dulunya. Mereka merasakan bagaimana sakitnya di-bully karena miskin, diremehkan karena tidak memiliki makanan dan pakaian yang layak menurut standard sosial. Seorang pemain bola hebat yang saya kenal bahkan harus berjalan kaki, setelah berenang melewati teluk dengan berbekal jagung goreng untuk bisa ke sekolah.

Cerita kemiskinan yang menyakitkan tentang anak-anak yang ditinggal pergi oleh orang tuanya karena terlalu miskin, juga terdengar miris. Oksigen terasa kurang dalam rumah sesak yang dihuni 2 orang dewasa dan 2 anak kecil. Salah seorang dewasa lalu memutuskan untuk pergi dan menitipkan anak-anak pada orang lain. Oksigen kemudian memang tersedia cukup untuk bernafas, sesaknya rasa “dibuang” itu yang memanen dendam.

Kemarahan dan kesedihan ketika harus menelan nasi dan kuah telur plus garam dalam gelap karena listrik yang tak mampu dibeli. Air pemerintah yang diputus karena tunggakan tak terbayar dan pedihnya berita tak ada makanan untuk esok. Cerita ini berisi air mata dan tekad untuk tidak boleh miskin terlalu lama lagi.

Kemiskinan menimbulkan dendam yang harus dibayar dengan kehidupan yang lebih layak.

Kemarahan pada situasi miskin membuat kerja menjadi jauh lebih keras dari yang ditargetkan. Usaha dan kreativitas menjadi dua kali lipat dari standar normal. Senyum pahit orang-orang tersayang yang berjuang bersama melewati masa sulit adalah cambuk untuk tawa riang mereka hari ini.

“Kalau mama saya masih hidup saya mau ajak dia naik motor ini mama Jean, dia dulu selalu jalan kaki jual ikan untuk kami makan,” kata Supra di suatu sore yang menyesakan kala itu.

Kebanggaan ketika akhirnya bisa membeli hampir semua buku bagus yang dulu hanya bisa dilihat di toko buku. Senangnya membaca buku milik sendiri tanpa takut pemilik akan datang menagih saat cerita belum usai dibaca.

“Bangga sekali akhirnya hari ini dapat membeli makanan enak untuk keluarga, bisa nyetok beras dan tidak was was setiap menjelang makan. Tidak khawatir pas ada tamu dan kita tidak yakin ada gula di dapur,” kata salah seorang teman.

Serba kekurangan itu tidak enak; sungguh.

Tetapi selalu ada hal yang bisa disyukuri dari setiap kondisi buruk kan? Kita tidak punya cukup uang untuk kebutuhan pokok, tetapi kita diberi kesehatan untuk bekerja dan mencarinya. Tidak cukup uang untuk biaya sekolah, tetapi toh diberi kesempatan untuk tetap sekolah dan mengakses beasiswa. Dipertemukan dengan orang-orang yang mengajarkan cara lain untuk bertahan hidup; alih-alih mengutuk keadaan.

Kita mungkin tidak bisa makan apapun yang kita mau (yang kebetulan mahal). Tetapi selalu ada makanan pengganjal perut; tak mewah tapi cukup. Tidak bisa membeli BBM untuk kendaraan, setidaknya masih ada kendaraan terparkir depan rumah. Tidak bisa mengakses skin care mahal tapi bersyukur dikasi jenis kulit yang ramah dengan merk lain yang terbeli.

Hanya makan kuah telur diberi garam, tetapi setidaknya masih ada telur dan punya teman untuk makan dan berbagi tangis. Tak sendiri hadapi sulitnya menahan air mata.

Selalu ada jalan, asal jangan pura-pura miskin biar dikasihani saja. Itu norak. Hehe.

Tuhan itu baik, selalu baik.

Salam dari Pantai Ligota yang cantik di bulan April.

Lomba dayung sampan di pantai Ligota
Lomba dayung sampan di Ligota

Komentar