Dear Charlotte

Dear Charlotte

Dear Charlotte saya sedang berada di Rana Kulan sekarang.

Apa kabar di surga, “Apakah  menjadi malaikat itu sibuk juga?”

Saya lagi pengen cerita banyak sekali sama kamu, berharap kamu akan punya waktu untuk mendengar. Seperti biasanya dirimu yang selalu punya waktu lebih untuk sekedar mendengar ocehan saya.

Awal Juli 2023 ini seperti napak tilas untuk perjalanan kita bertahun yang lalu.

Saya bertugas sambil jalan-jalan lalu bertemu beberapa orang dari kala itu. Mereka-mereka yang membantu perjalanan dan pekerjaan kita saat itu.

Bertemu bapak Eka, pemilik salah satu rumah tempat kita menginap sambil mengambil data lalu belajar tentang keramahan menyambut tamu asing. Dia bahkan masih ingat nama lengkap saya dengan baik dan bertanya kabarmu. Kami bercerita dan bernostalgia, mengenang banyak hal yang sepertinya “berani” sekali untuk ukuran tahun 2006.  Hahaha.

Para bocah kala itu sekarang menjelma cantik, saya bahkan menghadiri pertunangan salah satu dari mereka. Kita sudah setua itu; setidaknya saya.

Dear Charlotte Kakebeeke,

After a long time, hari ini saya ingin menuliskan kembali cerita tentang perjalanan dan pengalaman kita bersama tahun 2006 di Elar.

Kau tahu, saat saya menulis catatan ini dengan kalimat awal, Dear Charlotte, saya sedang berada di Rana Kulan. Desa di Elar dengan danaunya yang indah. Masih ingat kan? Saya bahkan menginap di tempat yang sama; rumah di sudut jalan itu.

Tahun 2006; penelitian tentang Mobility and Health  memberi kita kesempatan untuk belajar dan jalan-jalan kesalah satu wilayah yang konon kabarnya paling angker di Manggarai Raya. Angker dari segi infrastruktur jalan, minimnya segala sarana prasarana dasar penunjang kehidupan dan angker dari segi hal-hal gaib.

Cerita seru perjalanan kita menjelajahi Manggarai ditahun 2006-2007 akan selalu menjadi bagian indah dan penting dalam perjalanan saya dear Charlotte.

Ingat kita ke Elar pertama kali.

Bicara Elar ditahun 2006 itu bicara soal keterbelakangan, jauh dari peradaban, mengerikan, serem dan banyak stigma negatif lainnya. Tetapi kita menikmati semuanya dengan santai dan antusias. Kita bahkan sempat cukup disegani karena keberanian (atau kenekatan) mendatangi Elar tanpa “pengaman”; modalnya hanya ketulusan katamu.

Kamu ajari saya tentang keberanian menghadapi tempat dan orang-orang asing dengan keramahan dan kepercayaan diri.

Naik motor GL Pro nya Yayasan Ayo Indonesia ke Elar bak pemeran film laga kurasa saat itu. Kondisi jalannya bikin “merinding disko”, tapi kamu buat itu jadi asik saja sambil ngobrol dan belajar bahasa. Nginap di salah satu desa, dengan pengalaman bangun pagi disuguhi air dalam jumlah sangat terbatas untuk kita bersih-bersih. Lalu kita hanya tersenyum dan mengambil kesimpulan bahwa banyak hal yang sebaiknya dinikmati saja, karena menggerutu hanya akan menghabiskan energi.

Jalur tengah dari Mombok sampai Rana Kulan jadi pelajaran menarik tentang rasa syukur dan “how lucky we are“.

Akan selalu jadi cerita menarik  untuk anak-anak saya nanti tentang penghargaan yang diberikan oleh masyarakat buat kita berdua kala itu.

Kamar khusus dengan tempat tidur ber-seprei satin serta tikar yang dibentangkan sebagai alas lantai. “Sounds like they thought we both are…..”, katamu dan berakhir dengan kita cekikikan sepanjang malam. Akhirnya kita tertidur di lantai dengan perasaan seperti lagi naik bajaj, efek goncangan jalan berbatu sepanjang desa Sisir sampai Rana Kulan itu.

Saya juga akan selalu ingat bagaimana kita berdua diminta (lebih tepat kita yang memaksa) untuk mandi di pancuran a.k.a Wae Sosor dan dijaga sama Bapak Kades;  supaya tidak ada yang macam-macam katanya. Buat mereka itu ucapan selamat datang tetapi untuk kita berdua itu penyelesaian bagus dari keharusan mandi di kamar mandi  dengan ikan yang akan jadi menu makan siang kita di dalam bak.

Saya juga ingat pernah menangis ketakutan karena salah menerjemahkan maksud yang kamu sampaikan kepada beberapa orang dan mereka marah. Tetapi semua berakhir baik karena maksud kita baik dan kita datang dengan tulus; ini adalah kalimat yang selalu kamu ucapkan.

Kamu bisa ada dimana saja dibutuhkan.

“Kamu sudah cantik, cukup pelembab saja tidak usah macam-macam,” katamu ketika bedak saya ketinggalan di salah satu desa dan saya sok panik.

Saat gugup melanda menjelang presentasi hasil penelitian kamu bilang, “Ah come on…. kamu sudah ke Elar dan kemana-mana. Mereka harus tahu apa yang kita hasilkan dan kamu akan menyampaikannya dengan baik”

Setelah presentasi selesai

“Apakah tadi cukup bagus?”, tanya saya dengan gugup.

“Tentu saja; yang pasti mereka mengerti dan kamu menyampaikannya dengan baik sekali.”

Kamu mentor yang luar biasa.

Dari kamu saya belajar tentang kerendahan hati, kekuatan,  keberanian dan sikap tulus. Saya juga belajar cara untuk melihat segala sesuatunya sebagai pelajaran berharga untuk hidup. Saya memanen semuanya sekarang dear Charlotte.

Belum banyak yang saya bagi ke kamu, saya bahkan belum sempat bilang terima kasih.

Saat ini saya belajar bahwa ketika ingat seseorang dan mau bilang sesuatu, just pick up the phone and make a call. Temukan mereka di media sosial manapun dan katakan semua yang ingin kau sampaikan. Jangan pernah membiarkan kebiasaan menunda menyampaikan perasaan, membuatmu menyesal karena kesempatan itu diambil kembali sama yang punya hidup.

Dear Charlotte, saya ingin mendengar ceritamu tentang surga.

Apakah surga itu seperti Danau Rana Kulan? Tempat kita duduk dan ngobrol lama sekali sambil menikmati airnya yang tenang dan teduh serta hutannya yang indah disalah satu hari di tahun 2006 itu?

Banyak jam kita lewati sambil berbagi cerita tentang para lelaki yang menurut kita ajaib. Tentang hidup yang harus dinikmati untuk setiap prosesnya, juga tentang pohon-pohon yang seharusnya tidak ditebang.

Kita juga berbagi tentang perempuan yang seharusnya paham bahwa dia punya kebebasan untuk berpikir dan bertindak atas namanya sendiri sebagai pribadi. Menjadi perempuan yang mandiri dan berdaya adalah bentuk penghargaan pada diri; itu kesimpulan yang kita ambil sebelum senja turun dan kita harus kembali.

Kita juga bercerita tentang ajaibnya Indonesia dan Manggarai yang sudah membuatmu jatuh cinta.

Saat itu surga buatmu adalah tempat dimana semua orang dihargai sama tanpa sekat gender, fisik, ekonomi, warna kulit atau apapun. Surga juga adalah tempat ketika cinta itu tentang mengirimkan coklat jauh ke Elar dan saya ingat kamu bilang, “Thats love Jean, he mean it”.

O,ya Danau Rana Kulan hari ini sepertinya agak menyusut, tidak seluas dulu lagi. Tempat kita duduk dahulu sekarang rasanya jauh sekali dari Danau. Entahlah, tapi saya pikir surga buat ikan-ikan disana sepertinya mulai sempit. Hutannya juga sudah tak selebat dulu lagi, walaupun keindahan dan ketenangannya masih sama.

Aihhh…menulis ini di Elar dan di pinggir danau ini membuat saya merindukanmu.

“Hi Jean, saya sedang di Timor Leste, nganggur saja disini menikmati setiap harinya. Saya belajar banyak”

at Papua Nugini sekarang, banyak sekali yang bisa dipelajari disini”

Pesan-pesan yang datang dari kamu sebelum Covid, selalu tentang hal-hal baru yang kamu dipelajari. Juga cerita tentang banyak kegiatan kemanusiaan yang luar biasa menguras energi, tetapi di semua postingan dan foto yang kamu kirim selalu ada senyum khas Charlotte. Yang ramah, menyenangkan juga menenangkan. Senyum cerdas seorang pejuang kemanusiaan yang rendah hati.

Terima kasih untuk Yayasan Ayo Indonesia yang sudah mempertemukan saya dan kamu serta membolehkan saya menjadi bagian dari orang-orang hebat. Belajar banyak sekali hal yang jadi landasan untuk saya berdiri hari ini.

Waktu terus berjalan, orang pun dunia bergerak dan berubah namun kenangan dan cerita persahabatan akan senantiasa terpatri.

Seperti apapun surga, heaven needed u more dear Charlotte Kakebeeke and i’m here writing this, missing you and thank a lot for all..

Salam dari Rana Kulan.

Danau Rana Kulan Elar Manggarai Timur
Sendiri Menikmati Danau Rana Kulan, 08 Juli 2023

Komentar