
Kemampuan setiap orang untuk menghadapi persoalan berbeda-beda. Setiap orang memiliki mekanisme pertahanan diri yang juga tidak sama untuk setiap hal yang terjadi dalam perjalanan hidupnya. Salah satu kalimat favorit saya adalah, “kita mulai dari titik start yang berbeda dengan standard yang juga tidak sama”. Kalimat ini mewakili apa yang saya pikirkan tentang bagaimana cara setiap orang menghadapi dunia dengan segala ceritanya.
Untuk setiap tipe orang, mekanisme yang dipakai untuk bertahan dan/atau merayakan hidup berbeda tergantung pada banyak sekali hal.
Salah satu naluri dasar manusia adalah mempertahankan diri.
Bicara mempertahankan diri jaman berburu dan bertani tentu saja akan jauh berbeda dengan mempertahankan diri (atau hidup) di jaman sekarang ini. Senjata dan strategi yang dipakai juga mengalami perubahan luar biasa. Ketika menulis kalimat diatas yang saya bayangkan adalah hal dan peralatan yang bersifat fisik, padahal yang saya ingin sampaikan adalah yang sifatnya non fisik; psikis. Ketika harus meperjuangkan hidup untuk bisa makan minum dan segala hal yang bersifat fisik, strategi dan senjata yang digunakan akan terlihat nyata. Berbeda ketika harus bertahan, berjuang dan melawan gempuran psikis. Berdarah-darah tapi tidak kelihatan darahnya; bercucuran air mata tetapi senyum tetap cetar cantik mempesona walaupun mata tidak bisa bohong.
Rumitnya adalah perjuangan untuk melawan tekanan psikis dan/atau emosional ini secara sosial dipandang sebagai perang pribadi. Sebisa mungkin jangan melibatkan banyak orang. Takutnya akan jadi headline gossip atau malah mengganggu kenyamanan banyak orang katanya. Jadi sejak kecil hampir semua kita (kami orang-orang bagian Timur Indonesia yang pasti) akan selalu terlihat tegar dan baik-baik saja dalam perjalan hidup.
Puluhan tahun hidup di bumi, bertemu dengan jutaan orang (kira-kira hehe) dari milyaran manusia di bumi; banyak cerita yang terdengar dan/atau sengaja diceritakan. Membawa kesadaran bahwa perjuangan hidup dan perang secara psikologis berlangsung dan berlaku untuk semua orang.
Cerita patah hati sama saja untuk manusia di belahan bumi manapun. Pengakuan dan penghargaan yang minim untuk kehadiran juga lukanya sama perih; untuk kita di NTT dan para model di TV itu. Kisah tentang harus menerima semua titah orang dewasa sebagai kebenaran adalah drama standard dalam dunia remaja di seluruh dunia. Drama perebutan remote, pertengkaran tentang tutup toilet yang tidak diturunkan atau lemari yang selalu berantakan adalah cerita rumit rumah tangga sejak jaman pasangan menikah mengenal benda-benda itu. Kesepian yang melahirkan puisi-puisi indah para seniman sama pedihnya dengan yang dialami oleh para politikus diatas panggung orasi.
Kondisi agak rumit ketika kita terbiasa untuk menahan semua beban perasaan, karena itulah yang menjadi standard manusia kuat.
Bagaimana kita melewati masa-masa sulit akan sangat menentukan bagaimana kita bertahan dalam perang psikologis ini menurut saya. Saya mengenal banyak orang yang menjadi sangat keras terhadap dirinya sendiri, bahkan sampai tidak membiarkan air mata membasuh luka. Menangis itu pekerjaan manusia lemah dan terlalu banyak bercerita akan membuat kita seperti akuarium yang mudah diubek-ubek; demikian kurang lebih didikan kami di Timur. Apa yang terjadi dalam rumah tidak boleh keluar lebih jauh dari pintu. Persoalan akan berlalu, semua hanya tentang proses maka berdoa saja pada Tuhan jangan cari manusia apalagi yang bukan keluarga. Bahkan untuk persoalan yang berakar dari dalam rumah, biarkan semua dibawa mati demi kehormatan bersama. Keras sodaraaaa…..tetapi semua diterima sebagai dogma dan bentuk mempertahankan kehormatan keluarga.
Beberapa orang melindungi diri dari serangan buruk kondisi mental dengan mengabaikan keadaan, yakin semua berjalan seperti seharusnya dan kemudian berlalu. Yang lain akan menjadi makhluk yang dingin dan kehilangan empati dengan keadaan makhluk lainnya. Sebagian lainnya akan menjadi kasar dan suka menghukum; kompensasi dari amarah dan banyak emosi negatif yang terpendam. Banyak juga orang yang menerima semua sakit batin itu dengan damai, menempatkannya dalam ruang-ruang khusus di hatinya untuk sesekali dibuka atau kemudian dibiarkan membusuk menjadi kenangan bersama waktu. Untuk mereka yang bisa kompromi dan tumbuh dilingkungan yang pas, kemungkinan akan menjadi sosok dewasa yang kemudian menjadi tempat sampah untuk banyak orang; walaupun kadang sampah jiwanya sendiri belum menemukan saluran pembuangan yang pas.
Setiap orang sedang menghadapi “perangnya” masing-masing.
Positif atau negatifnya mekanisme pertahanan diri yang dibangun sangat tergantung pada kematangan cara berpikir. Proses ini ditentukan oleh lingkungan, bacaan yang dipilih dan music yang didengarkan. Pertikaian akan muncul ketika perang pribadi itu mengganggu kenyamanan orang lain. Entah karena mekanisme pertahanan diri yang salah ruang dan waktu atau karena beban yang terlalu berat dan kemudian tumpah.
Setiap orang adalah pahlawan pada peran(g)-nya masing-masing; itulah sebabnya tidak ada hak kita untuk menilai orang lain dalam perjalanan dan ceritanya. Masing-masing orang berusaha tampil sempurna, menyembunyikan semua luka dibalik senyum tegar atau bahu yang terangkat dan langkah pongah karena alasan yang pribadi sifatnya. Apalagi sekarang ini media sosial hanya membutuhkan tampilan indah. Beragam filter dibuat bukan hanya untuk menutup pori yang membesar tetapi diharapkan juga bisa menghapus nestapa yang membentuk kerutan pada kulit.
Kejutan kadang hadir ssesekali; saat pertahanan itu bobol atau minimal bocor. Tangisan pecah untuk hal-hal remeh pada mereka yang citranya kokoh, ledakan emosi pada mereka yang selalu sabar. Diam yang panjang pada mereka-mereka yang biasanya selalu ada dengan senyum tulus, bahkan trauma dan phobia untuk lagu indah yang dinyanyikan pada saat tertentu. Ledakan emosi terkadang hadir dengan menarik diri dan menghilang, menikmati waktu bersama diri sendiri saja.
Setiap kita memiliki kebutuhan (psikologis) yang berbeda. Ngobrol kadang bisa bantu bikin waras dan saling menghargai adalah kunci untuk bisa terus bersama. Kopi dan lagu-lagu lawas bisa jadi bentuk perayaan yang pantas untuk kalimat panjang tanpa suara yang bercerita.
Salam dari Borong