Ada Cinta dalam Gosip

Ada Cinta dalam Gosip

Bergosip adalah bentuk perhatian yang aneh tentang kehidupan orang lain. Beberapa orang mencintai dan membenci pada saat yang bersamaan dan dengan cara yang tidak biasa, kalau tidak bisa dibilang aneh. Keanehan ini berwujud gosip, yang merupakan hasil dari perhatian pada kehidupan orang lain tetapi dibalut dengan rasa benci pada saat yang sama. Ada kecenderungan untuk memperhatikan obyek secara detail ketika bergosip dan apapun alasannya, ini adalah bentuk perhatian kan? Hehehe

Semua kita pasti pernah bergosip atau digosipkan. Manusiawi dan normal, cenderung aneh ketika ada yang menjawab tidak.

Sebagai pelaku, secara pribadi saya bisa pastikan bergosip itu menyenangkan pada saat dilakukan. Menjadi yang paling tahu  persoalan,   dengan naluri detektif yang seolah tersalurkan. Ada kepuasan yang aneh ketika memperhatikan obyek yang akan atau sedang digosipkan lalu membuat kesimpulan, kemudian semua menjadi lebih sempurna ketika ada telinga yang sukarela mendengar.

Sebagai korban tentu saja lain cerita; sungguh mati tidak enak pemirsahhhhh….

Pengalaman tiap kita akan berbeda soal ini, yang mungkin sama adalah rasa kesal, marah dan malu yang timbul karena gossip yang beredar. Walaupun menurut Yuval Noah Harari dalam bukunya “Sapiens”, gossip memiliki peran penting dalam revolusi kognitif terutama komunikasi dan pola pertukaran informasi, namun hal ini tetap saja tidak bisa cukup menghibur ketika kita menjadi korban (yang digosipkan).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) gossip adalah obrolan tentang orang-orang lain; cerita negatif tentang orang lain; pergunjingan.  Artinya saja sudah negatif, efefeknya apalagi. Anak-anak hari ini membuatnya lebih soft dan gaul dengan istilah ghibah, tetapi arti dan konotasinya tetap sama.

Sebagian orang merasa sangat penting untuk mengomentari kehidupan orang lain. Beberapa lainnya merasa bahwa bentuk perhatian yang paling nyata adalah “sok”  tahu     dan kemudian  berusaha masuk dalam cerita hidup orang lain.

Ketika terlibat sebagai bagian dari kumpulan yang bergosip, akan susah untuk berpikir kenapa kita bergosip tentang orang lain dan kehidupannya. Pada situasi ini, biasanya akan muncul rasa sebagai yang paling benar; memang sudah seharusnya mereka atau dia itu dibahas. Tetapi ketika menjadi yang digosipkan, akan banyak pikiran yang muncul tentang kenapa saya yang digosipkan, apa salah saya dan lain sebagainya.

 Kebutuhan untuk menjadi menjadi yang pertama didengarkan sepertinya adalah salah satu alasan banyak orang bergosip. Secara naluri, tentu menyenangkan ketika kita menjadi sumber berita dan dianggap paling tahu mengenai suatu hal. Urusan benar atau tidak nanti saja. Untuk setiap gossip hampir pasti pendengarnya akan mudah ditemukan, tidak butuh baligho ajakan apalagi iklan. Para pendengar dan pecinta gossip biasanya akan otomatis berkumpul dengan kode tertentu yang (sepertinya) berlaku umum dan disepakati dibanyak tempat secara bersamaan.

Ketika bergosip mungkinkah sebenarnya kita sedang bercerita tentang diri sendiri? Bentuk teguran yang diterima para penggosip biasanya adalah, “Jangan suka ngomongin orang, awas ketularan” atau mungkin “Mulut panas e aeh, awas berbalik nanti ceritanya.”  Hal buruk yang diceritakan tentang orang lain cepat atau lambat akan terjadi pada para penggosip katanya. Beberapa kejadian kemudian membenarkan ini. Pertanyaannya, ini karma atau hanya soal waktu yang kemudian menjawab semuanya?

Mungkinkah saat bergunjing tentang hal (yang dipikir) buruk mengenai orang lain sebenarnya kita sedang berusaha meneriakkan hal yang sama dan lama tersimpan? Tidak semua orang bisa menghadapi penghakiman sosial yang kadang terlalu “keras”,  ini sebab banyak cerita tetap menjadi rahasia. Mencari teman untuk kesalahan yang “dipikir” sama  kemudian bergunjing, bergosip menjadi saluran untuk didengarkan. Bercerita seolah (hanya) orang lain yang melakukan hal buruk dan kita bersih. Ini seperti mencari teman untuk sebuah konspirasi yang bahkan agen rahasia terbaikpun akan bingung mendefinisikannya.

Alasan kurang kerjaan dan kurang bahagia adalah alasan lain orang-orang bergosip, kata salah seorang teman. Terdengar agak kejam tapi ya..begitu hehehe. Ketika punya banyak hal untuk dikerjakan seharusnya tidak ada waktu untuk menelisik keburukan orang lain. Ketika puas dengan kehidupan pribadi, seharusnya tidak ada waktu menilai kebahagiaan orang lain.

Setiap orang punya standard yang berbeda dan memulai di titik start yang tidak sama. Seharusnya tidak ada alasan untuk merasa bahwa bahagiaku adalah yang terbaik. Ghibah mungkin adalah bentuk perhatian kepada sesama, tapi itu bentuk perhatian yang aneh. Bergosip juga tentu bukan cara elegan yang dimaksud para motivator ketika mengajak untuk speak up. Bergunjing bukan media yang cerdas untuk didengar atau  mendengarkan, seberapa pun itu menyenangkan pada waktu dan situasi tertentu.

Cara elegan untuk membentengi diri dari rasa sakit ketika digosipkan adalah dengan berpikir bahwa seaneh apapun bentuk perhatian yang diberikan, ada cinta yang terselubung disana.

Salam dari Borong

2 Comments

Komentar