Bercerita tentang figur seorang mama seharusnya mudah saja. Tetapi ternyata tidak begitu buat saya kali ini, ada sedih yang langsung muncul ketika menyebut kata “mama”. Karena kata ini buat kami sekeluarga adalah gambaran cinta dan kesedihan di saat yang sama.
Menulis kalimat pertama untuk tulisan ini juga butuh waktu yang cukup lama.
Tapi salah satu hal yang entah saya dengar atau baca di mana, bilang bahwa membicarakan kesedihan kita kadang bisa mempercepat kesembuhan luka dan membuat kesedihan itu menempati hanya sedikit bagian di hati dan pikiran kita.
Kematian adalah kesedihan yang harus ditanggung dalam waktu yang sangat lama. Luka yang timbul setelahnya juga akan terus terasa perih, seolah dikasi perasan lemon. Apalagi jika kembali mengingat semua kenangan; bahkan hal paling sepele seperti cara dia batuk atau memaki.
Dia yang ada saat kau bisa mengucapkan kata pertamamu, yang mengajarimu cara memaki dengan sayang (ini khusus untuk mamaku), sampai mengajari cara memakai pembalut. Dia yang ikut membantu mengusir cowok yang tidak kau sukai, tapi juga disaat yang sama tidak mau membantu mendapatkan yang kau sukai karena takut kehilangan anaknya yang masih kecil (menurutnya). Sayangnya untuk bagianku, dia tidak bisa menemani saat menikah dan melahirkan seorang cucu buatnya.
Dalam kenanganku dan adik-adik, mama adalah seorang perempuan tegar, tabah dan kuat. Dia sepertinya bisa menghadapi apa pun yang datang meghampiri. Rasa aman yang diberikan mama adalah kenangan yang tetap hidup sampai saat ini setelah 18 tahun dia meninggal. Keyakinan bahwa mama akan melindungi kami, bahkan tetap ada sampai sekarang. Tidak perlu kehadirannya secara jasmani untuk tahu bahwa siapa pun yang punya niat buruk terhadap anak-anaknya akan mendapatkan sesuatu yang buruk dalam mimpi-mimpi dan hidup mereka. Mama adalah tipe perempuan yang tidak akan menangis terlalu lama untuk rasa sakit yang dia rasakan, walaupun kepergiannya membuat kami menangis sangat lama. Mama tidak akan membiarkan orang tau seberapa besar luka yang dia punya dan dia sangat selektif untuk membolehkan seseorang membantunya mengatasi “rasa sakitnya”.
Kekuatan menahan sakit dan ketabahannya itu berlanjut sampai kemudian mama divonis kena kanker payudara.
Tidak seorang pun yang boleh tau, ini ultimatum.
Tahun 2003
Saat itu, mama hanya tinggal berdua sama bapa di rumah Ruteng. Saya kuliah di Bogor, Shanty di Surabaya dan Ari masih SMP di asrama seminari. Kami yakin sakit itu sudah bercokol lama dipayudara yang menjadi sumber hidup kami pada 2 tahun pertama kehidupan, tapi mama menyimpan semuanya sendiri. Alasannya sangat tidak masuk akal, mama takut konsentrasi sekolah anak-anaknya terganggu.
“Konsentrasi seperti apa yang diharapkan kalau mengetahui kebenaran saat semuanya sudah terlambat mama?”, ini adalah pertanyaan yang tidak pernah terucap dan terjawab.
Bapa juga berkonspirasi atas nama cinta dan sumpah perkawinan untuk tidak memberitahukan penyakit ini kepada kami bertiga. Maret 2003, mama masih ikut pertandingan tenis Piala BRI dan menjadi juara. Belakangan bapa cerita bahwa mama tidak sempat mengikuti upacara pemberian hadiah sampai selesai, karena malu dengan cairan yang mengalir dari payudaranya dan waktu itu sudah mulai berbau.
Juni 2003, Ari pulang untuk liburan kenaikan kelas. Mendapati mama dengan kondisi sangat kesakitan tapi masih dengan ketegasan yang sama untuk tidak cerita sama Jeany dan Shanty. Adik lelakiku ini bahkan diperintahkan untuk menghabiskan liburan di Wae Koe (kampung kami). Menyakitkan. Mama juga memasang telpon paralel di dalam kamarnya, sehingga dia adalah orang pertama yang menerima telpon dengan suara ceria dan makian yang khas mama.
Tidak ada hal yang bisa disimpan terlalu lama,termasuk tentang rasa sakit. Walaupun semuanya sudah sangat terlambat ketika semuanya terbuka. Kondisi mama turun drastis sejak Juli 2003 dan luka itu semakin susah disembunyikan. Namun masih dengan keras kepalanya, mama memutuskan untuk tidak menerima tamu apalagi yang datang dengan niat menjenguk. Agustus adalah bulan yang berat dan menyiksa untuk semua yang mencintai seorang MARIA GORETI. Kondisinya semakin parah, tidak bisa berharap banyak lagi, tetapi semua tetap berkeyakinan bahwa selalu ada jalan ketika masih mau berusaha. Maka Surabaya adalah tujuan berikutnya untuk mendapatkan pengobatan yang terbaik.
Tapi juga bukan hal yang mudah untuk mendapatkan persetujuan mama. Setelah dibujuk dan sedikit tangisan histeris dari dua anak gadisnya akhirnya mama mau berangkat ke Surabaya dibulan September.
Semua hal dan hari-hari masih terpatri nyata dalam ingatan.
Mama, bapa dan salah seorang kerabat sampai di RSUD dr. Soetomo Surabaya hari Kamis tanggal 17 september 2003. Ketika melihat kondisinya, tangisan, ratapan dan kemarahan bercampur jadi satu. Tetapi yang keluar dari mulut hanya permintaan maaf yang dijawab dengan enteng, “Maaf untuk apa?”
Kondisi mama sangat buruk (kalau boleh dibilang mengerikan). Badan atletisnya hilang terbawa rasa sakit itu, betisnya yang mulus dan putih menghitam seperti arang (konon ini adalah salah satu yang dilakukan oleh sel kanker). Perban yang membalut payudaranya adalah yang paling menarik perhatian. Namun jangan pernah berharap melihatnya mengeluh.
Mama tetaplah seorang MARIA GORETI yang tegar, kuat dan konyol.Dia tidak pernah membiarkan kami melihat lukanya. Dia tetap tersenyum, kalaupun sangat kesakitan yang dia lakukan hanyalah menarik napas dan meminta kami secara bergantian mengelus tangan atau anggota tubuhnya untuk mendapatkan ketenangan. Mama bahkan masih bisa mengomentari hal lucu yang dialami pasien kanker lainnya (beliau ditempatkan di bangsal kanker bersama 4 orang pasien lainnya). Sibuk sekali dia mengomentari dan mengomeli seorang ibu yang terus kentut setelah operasi kanker rahim dengan joke khas Ruteng. Mama juga masih bisa mengomentari salah seorang pengunjung yang datang dengan kostum yang salah menurut standarnya. Beliau bahkan punya tenaga ektra untuk memaki saya dan Shanty yang tidak becus ini itu dan/atau yang terlalu sibuk kasi laporan kepacar masing-masing (waktu itu) tentang kondisi mama. Mama punya segudang joke porno dan sepertinya rasa sakit itu tidak mengahalanginya untuk ”mewariskan” semuanya dan menikmati susahnya kami menahan tawa untuk tidak mengganggu pasien lain.
Tapi ada saat tertentu (biasanya malam hari), saat kondisi RS sangat sepi dan hanya ada suara mama yang merintih menahan sakit, atau rintihannya supaya kami tidak berhenti mengelus tangannya, yang membuat kami terpuruk dalam kesedihan yang sepertinya tidak berujung. Ketakutan akan kehilangan mama, tapi disaat yang sama juga tidak tega melihat penderitaannya bercampur menjadi rasa sesak yang menghimpit dada. Banyak teman, sahabat dan saudara yang datang dan memberi kekuatan. Semuanya mudah ketika itu, tapi saat jam besuk selesai dan yang tinggal hanyalah kami, mama dan sakit yang menggantung di udara; semuanya menjadi tidak tertahankan.
Kondisi mama makin hari makin buruk. Tapi sempat memberikan sedikit harapan ketika hari Senin, 22 September 2003 itu mama minta untuk makan soto bening dan juice apel. Apa pun diusahakan walau melanggar saran dokter asal mama senang saat itu, tetapi yang bisa masuk hanya beberapa suap kuah soto dan beberapa tetes juice.
Bagaimanapun semua bisa melihat sinar cerah di wajah mama saat itu. Harapan melambung tinggi.
Selasa, 23 September 2003 kondisi mama kembali drop
Harusnya tanda-tanda itu sudah terbaca dengan jelas.
Beliau minta dipeluk dan satu persatu kami memeluknya. Bapa yang begitu tabah dan setia, Shanty, dan saya serta nama Ari yang selalu mama sebut dengan penuh sayang seolah dia juga ada disana.
Mama minta kami untuk menjaga Ari dengan baik, saling sayang dan selalu menghormati bapa.
Tanda2 lainnya adalah ketika mama berhenti mengigau untuk menyebut nama beberapa orang yang (mungkin) tidak disukainya. Tanda bahwa memaafkan dan dimaafkan bisa memberi kedamaian dan kesiapan untuk menghadapi ajal. Beliau hanya merintih dan terus memanggil bapa supaya jangan pergi terlalu jauh darinya.
Rabu, 24 September 2003, mama terus merintih sepanjang hari dan hanya berhenti untuk menitipkan kami, anak-anaknya, kepada salah seorang kerabat untuk dirawat dan dijaga seperti anak sendiri. Hancur sekali melihat ini semua tapi kami sudah pasrah dan yakin bahwa mama sudah siap dan karenanya kami juga harus siap untuk dia.
Persahabatan dan konsistensinya pada banyak hal dalam hidup adalah tongkat yang bisa kami dapatkan dalam kenangan akan seorang mama saat kami merasa sendiri dan terlalu banyak masalah. Mama punya cara yang tidak biasa untuk menunjukan rasa sayangnya, hal itulah yang menyatukan anak-anaknya dengan cara yang hanya bisa dijelaskan dalam rasa sayang dan saling membutuhkan yang dilandasi kenangan tentang mama. Mama meninggalkan lebih banyak dari yang bisa dilihat orang dalam kehidupan kami; anak-anak dan suaminya, juga dalam kehidupan mereka yang menyayanginya.
Mama ingin meninggal dekat dengan anak-anak gadisnya (istilah yang selalu mama pakai untuk saya dan Shanty sejak dia sakit) dan mendapatkannya; tapi beliau hanya mau meninggal dalam pelukan suaminya tercinta. Ari hanya bisa melihat peti mati mama yang sudah tertutup rapat, tapi ini mungkin adalah rencana yang sudah mama susun sejak awal. Mama mau agar kenangan tentangnya yang hidup dalam diri anak-anaknya adalah mama yang sehat, segar, lucu, kuat dan tabah.
Apapun itu disinilah kami hari ini….
Dengan banyak berkat dalam berbagai bentuk dan rupa, dengan kehidupan yang harus terus berjalan, dengan kaki yang harus tetap menapak, dengan hidup yang harus dijalani untuk tetap bisa memberikan senyum di wajah mama (dalam kenangan kami tentang mama) dan wajah bapa yang adalah realita hari ini.
………Setelah memiliki seorang Rafa, keputusan mama untuk menyembunyikan sakitnya menjadi lebih mudah untuk dipahami. Tidak ada seorang ibu pun yang ingin memberikan kesedihan dalam hari-hari anaknya………………………
Salam dari Borong
Terima kasih, Kak…
Terima kasih, Kakkkk….
🤗🤗🤗❤️❤️❤️❤️❤️❤️
Terbaik kaka jeany…
Saat menjadi mama baru saya mengerti betapa berarti dan berharganya “senyum” sang anak…
Semoga kita bisa menjadi mama yang hebat utk anak” kita 🙏🙏
Selamat hari ibu untukmu mom Rafa dan Luthfi ❤️❤️
Cobalah menulis bagian hidup beliau dari sisi reputasinya di dunia yg Beliau suka.
Terbaik
…
Finally found a blog that close to my daily life. Keep onfire KK Jen 🙏
Bahagia di surga untuk Mama
Indah sekali Jen, peluk kuat 🤗
Keren tulisannya
Tulisannya yg sangat menyentuh. 😭😭😭 sperti Membaca cerita pengalaman sendiri😭😭😭😭
Mama Tua Eti, Manusia Luar Biasa.