Tatapan Kopi Senja

Tatapan Kopi Senja

Senja di Golo Loni
Kopi Senja di Golo Loni

Di suatu senja, aku merasa ada yang memperhatikanku dari jauh.

Entahlah….mungkin ini hanya perasaanku saja. Tetapi aku bisa merasakan tatapan yang mengikuti setiap gerakku sejak memasuki riuh dan ramainya ruang tunggu bandara ini.

Aku menengok dan seketika terpana; tatapan itu

………..

“Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat,” katamu disuatu hari yang basah setelah gerimis.

“Ke mana? Kita di sini saja, aku hanya ingin menikmati kopi bersamamu. Hujan dan kopi itu anugerah, rugi jika dilewatkan,” aku menjawab sambil menyesap kopi dengan nikmat.

Sungguh tidak ada yang bisa menyamai nikmatnya kopi saat atau setelah hujan.

“Kau tidak akan meyesalinya. Kopimu akan terganti nikmatnya,” sedikit memaksa kau menarik tanganku yang lalu berdiri dengan enggan.

Kau mengundangku ke kotamu setelah cukup lama kita menjalin kasih. Bukan perkara mudah untuk menjalin cinta jarak jauh, sama tidak mudahnya untuk mendapatkan izin berlibur kesini. Dengan cukup banyak pertanyaan tentang hubungan kita dan keyakinan yang aku berikan tentang keseriusan kita; izin itu akhirnya keluar.

Aku tidak datang dari keluarga modern yang akan mudah membiarkan anaknya bertandang ke kota lain. Tetapi denganmu, semua terasa mudah saja.

Sebuah kegiatan komunitas mempertemukan kita.

Kau yang menyukai senja begitu takjub memandangku yang menikmati kopi; dengan latar langit sore yang jingga senada rambutku, katamu.

“Kau dengan gelas kopimu; gelas ya dan bukan cangkir, berlatar langit sore yang warna jingganya senada dengan rambut pirangmu yang ikal. Sungguh aku yakin ini pemandangan paling ajaib yang pernah aku lihat,” kau menjelaskan ini setelah beberapa obrolan pembuka yang canggung.

“Hahaha berlebihan ih,” malu-malu aku berusaha biasa.

“Mungkin memang berlebihan. Hehe. Tapi yang membuatku menjadi penasaran adalah, kau yang seolah tidak merasa ada orang lain disekitarmu. Kau begitu menikmati dirimu. Menikmati kopimu, menikmati pantulan senja di layar laptopmu. Kau seolah membeku dalam ruang yang kau batasi dengan tatapan dinginmu,”

“Baiklah. Aku pikir nalurimu sebagai laki-laki yang lalu tergugah dan bertekad untuk mengenalku?” terkekeh aku mencoba menganalisa mundur.

“Entahlah, yang pasti aku menyukaimu. Kau begitu natural dan apa adanya. Kau sangat menggoda tanpa menjadi genit dan sensual. Itu sebabnya aku berusaha mengambil posisi yang pas agar selalu bisa melihat senyumu dengan bebas. Kau menyadari itu?”

“Wah….tidak. Aku tidak sadar kalau ternyata diperhatikan,” takjub aku menyadari ada yang memujiku sebegitunya dan memperhatikanku begitu detail.

“Kau benar-benar beda. Kau tidak menyadari efek yang kau berikan dari sikap tak pedulimu itu, terutama pada hati kami yang bukan kaummu,” sedikit dongkol kau menjewerku sayang.

Senja turun, gurat merah menuju jingga mulai terlihat di langit barat.

Aku selalu menyukai senja, apalagi saat hujan dengan segelas kopi hitam pekat yang menemani.

Akhir-akhir ini paketnya berubah; ada kamu sebagai tambahan.

Hatiku hangat menyambut tanganmu yang menggenggam tanpa kata.

Kau asyik sekali menunjukkan sayang dengan hangat genggam tangan dan tatapanmu yang teduh.

Sesekali cerita tentang kegiatan yang sedang kau jalani menemani perjalanan kita. Aku juga suka mendengarkan penjelasanmu yang sederhana tentang beberapa hal rumit yang susah kupahami.

Kau pandai sekali membuat perasaan dan otaku bekerja sama untuk jatuh cinta dan aku suka paduan itu.

“Kita sampai,” kau umumkan ini tanpa melepaskan genggaman tanganmu.

“Ini surga; indah sekali di sini,” takjub aku memandang yang tersaji dihadapanku.

Kau mengajaku ke tempat yang sangat luar biasa. Laut yang membentang luas menyatu dengan kaki langit. Kau ajak-ku keluar dari mobil yang kita pinjam dari sahabatmu lalu duduk di hamparan rumput pada ketinggian yang menghadap ke arah laut.

Bagaimana mungkin kita sampai di sini tanpa aku  menyadarinya? Apakah keindahan alam sepanjang perjalanan ini menghipnotisku ataukah aku yang begitu larut dalam cinta yang kau berikan?

“Ini bagian kota yang jarang diketahui orang-orang. Zaman sekarang banyak yang lebih memilih menikmati alam dari fasilitas yang ditawarkan oleh kafe-kafe itu. Aku lebih suka disini. Sunyi, suara alamnya begitu merdu; damai rasanya,”

“Ini luar biasa. Gurat senjanya sempurna, paginya juga pasti indah. Matahari bersembunyi dengan sempurna, seolah ia pulang ke rumah yang tenang,beristirahat dan yakin esok bersinar cantik lagi. Kau lihat gurat jingga di langit itu? Dia menegaskan kecantikan langit sore ini,” aku bergumam dalam takjub.

“Ini senja paling cantik dan sempurna yang pernah aku lihat,” kau memandangku dengan tatapan yang memabukkan; seperti ciuman kita yang kemudian menyempurnakan senja di sudut kota ini.

…………….

Aku mengenali tatapan itu di antara riuhnya percakapan dan panggilan untuk penerbangan selanjutnya.

Mata itu adalah mata yang membuat senja selalu menjadi bagian favoritku dari sepanjang hari. Tatapan dari mata itu adalah yang menyatakan cinta tanpa banyak kata. Mata yang kemudian juga pergi dalam diam dan luka, karena cerita yang tidak boleh diselesaikan oleh keadaan.

Perjalanan hidup dan waktu mungkin tidak ramah untuk kisah kita.

Namun tatapan dan cinta itu adalah bagian yang aku simpan pada salah satu sudut hati; untuk aku nikmati saat ngopi dan sendiri. Aku selalu menyukai senja dan menyempurnakannya dengan kopi yang pekat.

Aku menyukai hujan, kopi dan sunyi karena aku ingin mengeluarkan cerita itu untuku sendiri saja. Sungguh aku tak siap untuk tatapan dan semua kenangan yang harus hadir dalam keramaian ini.

Untunglah panggilan boarding membolehkanku beranjak walau perih, karena tau ada tatapan yang mengikuti dengan sakit yang sama.

======= Salam dari Borong =========

=

Komentar