Sunyi yang Meronta-ronta

Sunyi yang Meronta-ronta

Sunyi itu biasanya tak sepi. Kalau sepi itu sering terhimpit batin “gegana” (gelisah, galau dan merana), maka sunyi berisi kegembiraan yang diam. Dalam sunyi, ada semerbak nyanyian; dalam sunyi, terselip bisik rintihan. Sunyi melahirkan “suara” saat sepi hendak membuatnya jadi bisu.

Sastrawan Pramoedya Ananta Toer pernah merasakan sunyi itu. Dalam sunyi ia mengerang; dalam sunyi ia berperang. Ia mengerang dan berperang melawan ketidakadilan. Ia menulis kisah; ia membikin cerita. Itu ia lakukan saat mendekam di pulau Buru. Dengan mencatat, ia berteman dengan pikirannya. Dengan menulis, ia berkawan dengan imajinasinya. Saat raga diikat aturan, imajinasinya justru mekar menjangkau dunia. Saat ia dipecut bisu, direndam diam, maka imajinasi membawanya bernyanyi tentang kehidupan. Nasibnya itu ia kisahkan dalam buku “Nyanyi Sunyi Seorang Bisu” (Lentera, 1995).

Kalau “nasib adalah kesunyian masing-masing” (mengutip penyair Chairil Anwar), biarlah ia diisi dengan nyanyian perjuangan. Vita est milita. Hidup adalah perjuangan. Hidup juga berisi parade kejutan. Tak ada yang tahu garis tangan seseorang.  Setiap orang bisa menjadi apa saja yang ia inginkan. Menjadi “seseorang” berarti, mengutip Pasternak, “sunyi yang jadi matang di saat sekejap”.

Sayangnya, hidup itu bukan pentas sulap, sekejab berubah. Perjuangan hidup itu justru dekat dengan tragedi, rimbun elegi. Hingga di titik akhir yang tipis, manusia bak hendak tenggelam. Orang yang hendak tenggelam akan berusaha meraih setangkai ranting kayu di permukaan air, sekadar untuk menjadikannya pegangan. Lalu muncullah rasa syukur dan harapan. Senantiasa berharap selama masih ada nafas. Dum spiro, spero!

Penyair Maria Rossee Lewuk (selanjutnya: Maria Rossee) mengisi puisinya dengan desah harapan.

Bukunya yang berjudul “The Silent Woman” (Penerbit Arashi Group, 2022) adalah “nyanyi sunyi” seorang perempuan. Penyair tinggal di tanah Papua (Manokwari), dan perjuangannya menetap dalam detak perjumpaannya dengan perempuan Papua. Ia ada dan bersama perempuan Papua berjuang demi keadilan. Boleh jadi, di Papua, perjuangan keadilan bagi perempuan adalah sesuatu yang sepi. Tak tampak, tapi terasa. Tak dikabarkan oleh televisi, tetapi akan senantiasa dibahasakan dalam sastra (:puisi).

Puisi “The Silent Woman” adalah sebuah “nyanyi sunyi” serupa ratapan atas sepi dan bisu media itu. Ada perempuan yang diam, tetapi ia mengatur nafas untuk senantiasa berjuang. Perempuan berjuang karena ada yang ditutup-tutupi. Keadilan pun kian samar. Perempuan pun merasa, seperti yang diungkap filsfuf feminis Simone de Beauvoir, “one is not born, but rather becomes, a woman”. Seseorang yang tidak dilahirkan, melainkan dibentuk (melalui perjuangan) adalah perempuan.     

Penyair Maria Rossee semacam menyadari betul kondisi “lebam” primordial nurturing itu. Karenanya  ia memilih pena untuk menghela nafas perjuangan.

The Silent Womant

Yang mengangkap sunyi diam-diam

Membungkus puisi rapi

Menitipkan pada nafas yang berdegub

Hampa tatap liar singgah

Pasrah menguliti jiwa redam

Menggendong pilu jejaki langkah

Perempuan sunyi menebar senyum

Di belantara rimba duka

Menepi pada jurang maut

Menanti keranda putih menjemput

Ia tinggalkan tangkai harapan

Untuk terus berjuang….  

Manokwari, 20 Agustus 2017

“Untuk terus berjuang”, perempuan menggunakan bahasa (:sastra). Perempuan Papua punya banyak bahasa untuk mengekspresikan marah dan gundah atas realitas di tanah Papua. Tarian perempuan Papua pun bisa diasosiasikan sebagai bahasa “perang”, bukan pemanis mata yang mengontrol tubuh mereka. “Perang”, karena perempuan terus berjuang melawan dominansi represif dan kekerasan. Ketidakadilan semacam itu telah menimbulkan “belantara rimba duka”. 

Di Papua, sepertinya, duka hanya miliki kaum perempuan.

Duka, sebab ia memikirkan anak-anaknya; luka, sebab ia menantikan suaminya. Jika anak dan suami tak pulang saat senja tiba, maka malam penuh “isak (yang) menyisahkan perih tak terdengar/sunyi menelan jejakmu sejak pergimu…” (petikan larik puisi “Hapus Perih”). Senja itu tak lagi seindah langit Kaimana (sebuah kabupaten di Papua Barat); malam pun sendu, duka, sunyi. Lantas, “…malam pun sesaat berhenti/sewaktu dingin pun terdiam, di luar/langit yang membayang samar” (petikan larik puisi “Prologue”, Sapardi Djoko Damono dalam buku puisi Dukamu Abadi, 1975).

Dengan “The Silent Women”, penyair Maria Rosse hendak mengatakan, mengutip Sapardi Djoko Damono, “dukamu adalah dukaku/airmatamu adalah airmataku”. Bahwa penyair sedang merasakan gema nafas yang terengah-engah itu, dan ia tiba untuk membagi resonansi harapan. Penyair tidak pasif, tetapi ia punya bahasa untuk menusuk hati yang beku dan kepala yang membatu.

Filsuf Austria-Inggris, Ludwig Wittgenstein, pernah bilang, “wovon man nich sprechen kann, daruber muss man schweigen” (pada saat kita tak dapat lagi menyatakan sesuatu melalui bahasa, maka saat itu kita lebih baik diam dan tutup mulut). Itu sebuah peringatan berbahasa. Sayangnya, penyair tak bisa seperti itu. Penyair itu seorang anti-Wittgensteinian. Ia selalu punya bahasa, berjuta kata, untuk menyerukan suatu hal. Bait-bait sajak penyair itu menghibur kaum yang lara, seraya menegur penguasa yang ngawur.

Tampaknya, itulah intention auctoris, penyair Maria Rossee. Tentu, intensi itu tak tercelup dalam dalil psudo-Cartesian, sekadar “aku merasa maka aku ada”. Justru lebih radikal, “aku berjuang maka aku ada bersama sesama perempuan”. Perjuangan itu bersama perempuan yang selalu menjadi korban dominasi respresif dan kekerasan (di Papua). Dukanya tak boleh abadi.

Dalam sunyi, perempuan melawan. Sunyinya meronta-ronta. Sebab sunyi tak salamanya duka, tak mesti kudus, tak harus lupa, tak berarti lampus (parafrase sajak Amir Hamzah). Bagi perempuan (Papua), sunyi itu noken kebebasan, agar kepala tegak menatap masa depan yang penuh bintang.

============== Salam dari Borong ==============

Ezrafane Tuname yang adalah seorang penulis dan Penikmat Sastra membuat tulisan ini untuk Lejeany. Tks so much brodaa. Tidak semua orang bisa menikmati sastra dan menulis dengan asik.

Komentar