Ibu Mertua; Salah Satu Berkatku  

 Ibu Mertua; Salah Satu Berkatku  

Sewaktu menulis kisah masa-masa awalku sebagai ibu, tak mungkin kulewatkan tanpa memasukan unsur ‘ibu mertua’ sebagai salah satu bagiannya. Kesimpulan awalnya adalah bahwa ibu mertua merupakan salah satu berkatku.

Beliau adalah perempuan desa yang sederhana. Secara fisik dan materi tidak banyak yang bisa dibanggakan dari dirinya. Namun banyak hal dalam dirinya yang kadang membuatku iri hati. Dia adalah perempuan yang positif, jarang mengeluh dan selalu bersyukur.

Pada hari pernikahan kami, ibu mertua tampil paling sederhana di antara tamu undangan.

Namun beliau terlihat paling tenang dan bahagia. Bagiku beliau adalah penolong, teman yang tidak banyak kemauan, tidak banyak bicara namun sangat menenangkan. She is the real inspiring person.

Sebagai menantu pertama, istri dari anak sulung kebanggaannya (dan kebangaan seluruh keluarganya); aku adalah kesayangannya. Tidak banyak komentarnya tentangku yang adalah perempuan berpendidikan dan berkarir di kota. Yang terlihat dari pandangannya tentangku adalah bahwa aku adalah anaknya; diurutkan di antara anak-anak kandungnya.  Perempuan itu kerap mengelus rambutku saat aku berbaring malas di kampung, mengajakku memetik merica di halaman belakang dan meluruskan pandangan negatifku tentang lahan yang tak subur atau ketika aku tergoda berbicara tentang laki-laki yang suka selingkuh. Jarang sekali aku melayaninya sebagaimana banyak cerita tentang akting perempuan muda di depan ibu mertua mereka.

Akhir pekan kami selalu ke kampung, alasan utamanya adalah bertemu  Mama (demikian aku memanggilnya). Keberadaan Mama tidak hanya istimewa bagi keluarga baru kami. Tanpa kata, sosoknya mengundang kehadiran ibu-ibu tetangga yang lewat untuk mampir dan bercerita.  Karenanya oleh-oleh wajib ketika berkunjung ke kampung adalah sepaket sirih pinang untuk Mama dan kawan-kawannya. Saat berkumpul dan berbagi cerita  dengan orang-orang kampung, sudut pandang Mama selalu yang paling positif dan tenang (ini penilaian dan analisaku sebagai orang terpelajar). Mama jarang marah (bagaimana mungkin menjadi ibu rumah tangga tanpa marah-marah, cerewet dan mengatur ?). Mama juga rajin bekerja dan rutin berdoa.

Terhadap bayi kami (anak sulungku) Mama memperlihatkan hal istimewa.

Beliau sangat suka membungkus bayiku dalam kain sarung yang dipakainya dan mengajak nya bicara. Kata-kata yang selalu diucapkannya tentang bayiku adala “Wua tuka!” yang artinya “Buah Rahimku”. Tak pernah kulupakan raut bahagia ibu mertua dan suamiku saat pertama kali memangku bayi kami. Sangat bahagia, bangga dan tak ada sedikitpun sesal atau cemas karena suatu kekurangan pada anakku. Mereka berdua, ibu dan anak itu, lahir batin kompak membentuk perspektif positifku mengenai sebuah kehidupan baru.

 “Wua tuk; buah rahimku, berkat dari surga yang sempurna!”. Kalimat itu tanpa mereka sadari membuat rasa banggaku sebagai seorang ibu semakin bermekaran. Bersemangat sekali Mama dalam kesedehanaannya mengantar bayi kami imunisasi dan pemeriksaan di Puskesmas dan/atau posyandu. Berhubung kami tinggal di kota dan Mama di kampung, maka beliau yang  mabuk  kendaraan  rela  dibonceng sepeda motor untuk mengunjungi kami. Hal ini tidak mudah, butuh pengorbanan fisik dan perasaan bagi perempuan kampung yang akan ke kota dan menemui cucunya.

Ketika harus ke luar kota dan meninggalkan bayiku karena urusan pekerjaan, Mama mantu adalah pengaman bayiku. Mungkin lebih tepatnya sebagai pengaman emosionalku sendiri; yang bisa membuatku tenang karena ada seorang ibu bagi anakku selama aku pergi. Begitulah diriku, walaupun nyatanya suamiku lebih pandai mengurus bayi daripada aku, aku selalu merasa bahwa tidak ada orang lain sebaik Ibu dalam hal mengurus bayi. Mungkin karena aku punya payudara.

Sebelum kami pindah dari rumah kontrakan ke rumah kami sendiri, Mama jatuh sakit.

Kemudian beliau  keluar masuk rumah sakit karena gagal ginjal. Selama itu pula aku menyaksikan bagaimana ia tangguh menanggung penderitaan fisik; tidak pernah menyesali hidup atau memaki situasi, taat melakukan diet dan tetap bercanda. Mama menyerahkan sakitnya dalam doa. Sangat iklas tersenyum pada anak-anaknya saat ia terbaring lemah di rumah sakit. Beberapa hari sebelum mama meninggal dia berbicara dalam keadaan tak sadar  tentang ‘Perjalanan Minggu Depan’ dan dia menyebutkan tanggal kematiannya. Dia berkata bahwa dia sayang cucunya tetapi tiket sudah terlanjur dibeli.

Begitulah…dalam perasaan yang mendadak merindukan beliau aku merasa wajib bersyukur. Aku bersyukur atas Mama Mertua yang positif dan penyayang. Lebih dari itu aku wajib bersyukur Mama telah melahirkan seorang pria penyayang dan sangat positif dan menghadiahkannya untukku. Ibu mertuaku adalah salah satu berkat terbaiku. Terima kasih Mama. Kami mencintai dan merindukanmu.

Salam dari Borong

Lagi dan lagi tulisan ka Lila Jehaun untuk Lejeany. Salah satu tulisan dari banyaknya tulisan tentang pengalaman sebagai seorang perempuan, istri dan mama. Thank you for sharing ka’e.

Komentar