Pola komunikasi berubah dari waktu ke waktu. Pola lama dengan media ceak hutu berganti dengan pola baru menggunakan ponsel pintar.
Perkembangan tekhnologi informasi dan perubahan pola komunikasi berpengaruh pada perubahan dalam masyarakat. Untuk yang sudah lahir sebelum internet mewabah pasti bisa menggambarkan dengan detail bagaimana perubahan itu terjadi. Jadi ingat masa-masa menulis surat dikertas wangi nan cantik, berusaha keras supaya huruf bisa bagus dan rapi, karena katanya kalau huruf bagus maka yang terima surat akan mengambil kesimpulan bahwa yang menulis juga cantik atau ganteng. Sembari berusaha supaya tulisan tegak rapi, pikiran juga berusaha keras menjalin kata yang santun dan runut biar kesan cerdas juga nampak. Kadang satu surat baru bisa jadi setelah beberapa hari, hehe, benar-benar perjuangan.
Lalu memasuki masa-masa memakai telepon; seru ini.
Bertukar kabar dan informasi lebih cepat dan mudah. Ngobrol bisa lebih panjang, walaupun untuk ini tergantung ketersediaan uang atau waktu yang dipilih untuk menelpon. Obrolan lebih natural via telepon karena tidak banyak waktu untuk bisa menyusun kata-kata indah (secara pulsa jalan terus).
Sampai kemudian memasuki jaman media sosial. Wah…ini lebih seru lagi. Segala informasi centang perentang (meminjam istilah Wiro Sableng) dengan kecepatan yang kadang melebihi kecepatan cahaya (kalau ini lebay). Setiap saat informasi berubah, beranda media sosial hampir tidak pernah kekurangan informasi untuk dibagikan. Apapun yang dibutuhkan akan tersaji dan kadang tanpa kita minta; kalau ini sih kerjaan algoritma. Kedatangan media sosial tentu saja membawa perubahan pada banyak sisi kehidupan termasuk pola prilaku.
Pola prilaku masyarakat mengalami banyak pergeseran; baik itu budaya, etika maupun norma yang ada.
Pernahkah merasa kecewa ketika sedang berkumpul lalu kemudian masing-masing malah sibuk dengan ponsel pintarnya? Atau pernahkah merasa diabaikan kehadirannya karena teman kita lebih memilih main game ketika lagi ngobrol? Foto dan video kecelakaan dipertontonkan dengan vulgar atau kehidupan pribadi yang dijadikan bahan candaan mungkin adakah sedikit dari perubahan norma dan perilaku masyarakat yang kita rasakan sekarang. Sebagai orang tua, kita juga mungkin pernah merasakan kecemasan ketika paparan tentang bagaimana “membuat anak” disajikan secara gamblang tanpa sensor di media sosial. Pontang pantingnya mencari bahasa paling sederhana untuk menjelaskan hal-hal yang menurut versi medsos biasa dan sah-sah saja untuk disuguhkan kepada anak-anak kita; bukan saya saja yang mengalaminya kan?
Yaaa….tentunya harus diakui bahwa media sosial juga sering membantu meringankan beban pekerjaan. Resep masakan sederhana untuk perempuan minim kemampuan memasak seperti saya misalnya. Atau jawaban untuk pekerjaan rumah anak SD yang sepertinya jauh lebih berat dari berusaha konsisten dengan jadwal olahraga. Update berita dan cerita terbaru level internasional sampai level rumah tangga tetangga juga mudah sekali didapat di media sosial. Apakah media sosial membantu atau menyusahkan kemudian menjadi relatif.
Ada satu masa dimana pola komunikasi sangat terbatas untuk komunitas tertentu saja.
Hal-hal private hanya bisa dikonsumsi oleh komunitas yang terbatas; keluarga misalnya. Cara mengkomunikasikannya juga unik. Dalam budaya Manggarai ada satu pola komunikasi tradisional yang asik menurut saya. Beberapa perempuan, minimal dua, duduk berderet sambil mencari kutu. Dalam bahasa Manggarai disebut ceak hutu. Kutu yang adalah hama di kepala itu kemudian menjadi sarana pemersatu untuk berbagi informasi dan cerita. Ketepatan informasi memang tidak bisa dipertanggungjawabkan, apalagi kalau barisannya panjang. Tetapi setidaknya informasi itu tidak kemana-mana. Ketika ada cerita yang berkembang keluar komunitas apalagi kalau menjadi tidak benar akan sangat mudah menemukan siapa oknum penyebarnya. Penyelesaian soal juga mudah; cukup dengan berkumpul, basa basi kemudian berbaris dan klarifikasi. Tidak membias.
Bandingkan dengan jaman sekarang ketika urusan dalam rumah bisa dikonsumsi dan dibahas sama orang sedunia…wow sekali kan, hehe. Dunia benar-benar berubah.
Pola baru berinteraksi dan komunikasi adalah melalui media sosial; interaksi dunia maya.
Ini fakta yang suka atau tidak harus kita hadapi sekarang. Standar komunikasi, sopan santun, definisi privasi, etika dan ruang private mengalami perubahan; ini mutlak dan kita (sepertinya) harus beradaptasi. Sayangnya banyak dari kita yang masih gagap soal tekhnologi. Gagap dan gugup menyatu dalam ketidaksiapan yang berujung pada penggunaan tekhnologi dan media sosial untuk menyebarkan hal-hal pribadi dan/atau hal buruk seakan itu adalah sesuatu yang biasa. Media sosial membawa informasi dalam jumlah yang sangat banyak, tetapi kemampuan sebagian kita masih kurang untuk memilah, memilih atau bahkan menentukan yang benar dan salah; karenanya kemudian kita dipaksa untuk konformis.
Contohnya menjadikan standard dan gaya hidup orang di dunia maya sebagai yang terbaik sehingga banyak yang memaksakan diri untuk ikutan menjadi ‘tidak nyata’. Memaksakan diri untuk menjadi orang Korea padahal tinggal di Ruteng atau Borong; gaya dan biaya hidup ala Korea penghasilan tetap Manggarai Raya. Luna Maya seolah adalah tetangga sebelah yang bisa diajak sarapan bareng lewat instagram; biasa ngopi gratis depan tungku di dapur demi medsos maksa ngopi di Café. Hasil akhir maagh kumat, selain standard kopi beda, tagihan akhir bulan bikin lambung perih.
Bukankah seharusnya media boleh maya tetapi kita yang berinteraksi atau yang mengoperasikannya tetap nyata? Etika di dunia nyata seharusnya bisa diajak masuk ke dunia maya kan? Sopan santun dan etika dalam setiap postingan, komentar dan pilihan informasi yang dibagikan misalnya. Ponsel pintar harusnya tidak lebih pintar dari yang menggunakannya, demikian kata teman saya. Editan foto juga seharusnya tetap terlihat natural dan nyata, biar tidak terkesan melakukan penipuan publik ketika bertemu dalam kenyataan. Hahaha
Salam dari Borong
Sepakat kk jeany