Ada sebuah lelucon lama tentang bagaimana orang Indonesia kalau lihat orang membaca buku di tempat umum, reaksinya cuma dua: penasaran atau kasihan. Penasaran karena merasa “Wah, hebat juga orang ini masih sempat membaca”; dan kasihan karena mengira “mungkin hidupnya sedang sepi”.
Sementara di Finlandia, membaca buku di taman adalah pemandangan harian. Di Jepang, anak-anak membaca novel sebelum mereka belajar menulis esai. Di Korea Selatan, siswa yang tidak membawa buku dianggap aneh. Di Norwegia, membaca buku bukan sekadar budaya, ia adalah kebanggaan nasional.
Di negeri kita, buku masih dianggap benda mewah, kadang juga benda asing.
Menurut laporan PISA (Programme for International Student Assessment) 2022, skor rata-rata literasi Indonesia hanya 371; jauh di bawah rata-rata global OECD yang mencapai 476. Untuk numerasi, Indonesia hanya mencatat 379, tertinggal dari negara tetangga seperti Vietnam (496) dan Malaysia (440).
Data BPS 2023 menyebutkan, hanya 1 dari 1.000 orang Indonesia yang membaca buku setiap harinya. Yang lainnya lebih sibuk membaca notifikasi, status WhatsApp, atau stiker lucu dari grup keluarga.
Mungkin kita perlu jujur bahwa literasi kita tidak rendah karena kita tak bisa membaca. Tapi karena kita terlalu malas memahami.
Kita menulis opini panjang di media sosial, tapi tak pernah bertanya dari mana sumber datanya. Kita menyebar kutipan bijak tanpa tahu siapa penulisnya. Kita percaya statistik, selama itu sesuai keyakinan. Dan kita percaya gambar, meskipun jelas-jelas hasil editan.
Kita juga tak pernah benar-benar belajar mencintai angka. Matematika sejak kecil dihadirkan sebagai makhluk galak, bukan sebagai cara memaknai hidup yang penuh pola. Maka jangan heran jika 92% siswa Indonesia mengaku takut saat mengerjakan soal numerasi (PISA 2022), jangan heran pula jika rakyat lebih percaya perasaan daripada perhitungan.
Di ruang rapat, pemimpin bicara target dan efisiensi, tapi tak bisa membaca grafik.
Di dapur rumah, ibu tahu harga cabai naik 20%, tapi tidak tahu ini namanya inflasi.
Kita semua jadi korban, karena angka-angka itu bukan bagian dari obrolan harian.
Lalu kita bertanya: mengapa ini bisa terjadi? Salah satunya karena sistem pendidikan yang menekankan hafalan, bukan pemahaman. Karena literasi dimaknai sebagai kemampuan mengeja, bukan menalar dan numerasi dianggap sekadar urusan rumus, bukan logika sehari-hari.
Guru didorong menyelesaikan silabus, bukan mendampingi rasa ingin tahu. Anak yang banyak bertanya sering disuruh diam. Yang suka membaca malah dianggap ‘terlalu serius’.
Kita membangun gedung perpustakaan, tapi bukunya dikunci dalam lemari kaca. Kita membuat lomba literasi di sekolah, tapi tak membiasakan membaca setiap hari.
Kita membuat “bulan gemar membaca”, tapi hanya seremonial.
Setelahnya semua kembali sunyi.
Sementara itu, TikTok dan Instagram menjadi buku baru. Pendek. Visual. Serba cepat.
Anak-anak lebih tahu tren viral daripada nama-nama pahlawan nasional. Lebih paham konten prank daripada struktur esai.
Teknologi memang bukan musuh literasi. Tapi ketika scrolling menggantikan perenungan, maka kita hanya menciptakan generasi yang cepat tahu, tapi pelupa. Pintar, tapi rapuh.
Lalu apa yang bisa kita lakukan? Mungkin kita butuh revolusi senyap.
Mulai dari hal-hal kecil seperti menyediakan buku yang menyenangkan, bukannya membosankan. Membiasakan guru membacakan cerita, bukan hanya menyuruh siswa membuat rangkuman. Mengubah ujian menjadi percakapan. – Membiarkan anak bertanya, dan menghargai bila guru menjawab: “Saya juga belum tahu.”
Dan tentu: memperlakukan buku seperti sahabat, bukan tugas sekolah.
Karena buku yang baik, tak hanya mengisi kepala, tapi juga merawat hati.
Kita tidak akan menjadi bangsa besar jika membaca masih dianggap sebagai aktivitas eksklusif.
Kita tidak akan maju jika kita lebih suka berdebat soal ejaan, daripada mendengar isi bacaan.
Karena literasi bukan tentang aksara. Ia tentang masa depan.
Dan masa depan tak akan pernah berpihak pada mereka yang malas membaca.
Dan seperti yang ditulis dengan satire halus oleh Goenawan Mohamad, “Di negeri yang gaduh ini, membaca adalah bentuk perlawanan.
Diam sejenak, dan berpikir: barangkali, kita sedang salah arah.
=========== Salam dari Borong ==============
Tulisan ini dibuat oleh Jefrin Haryanto; pimpinan yang lebih sering menjadi kakak dan teman.
Setelah lama, akhirnya menulis untuk Lejeany. Haha.
