Alasan Saya Membencimu

Alasan Saya Membencimu

Beberapa waktu lalu, seorang anak gadis tetangga kerasukan. Terakhir kali liat orang kerasukan pas SMA, ada kerasukan massal kala itu dan kenangannya masih lumayan mengerikan teringat. Singkat cerita, pas didoakan sama Ustad terjadilah dialog dengan makhluk yang merasuki. Ketika ditanya, kenapa kamu mengikuti dan masuk ke tubuh anak ini?

Si makhluk menjawab, “Tadi pas saya lihat dia lewat di depan rumah, saya tidak suka. Saya marah.”

“Apakah kalian saling kenal? Apa yang dia buat atau katakan sampai kamu marah?” tanya Ustad mewakili pertanyaan kami semua yang hadir.

“Saya tidak kenal dia, tetapi saya tidak suka dan saya mau buat dia tidak nyaman.”

Jawaban ini buat semua orang heran, termasuk saya. Bagaimana mungkin menganggu dan membenci jika tak mengenal?

Menurut KBBI, benci artinya sangat tidak suka.

Benci levelnya lebih tinggi dari sekedar tidak suka karena biasanya sangat mendalam (rasa tidak sukanya) dan diikuti oleh rasa menolak yang kuat.

iklan dania salon

Segala sesuatu selalu terjadi karena alasan dan sebab tertentu. Kita tidak suka dengan situasi rumah yang berantakan dan akhirnya uring-uringan dengan penghuni rumah yang suka meletakan barang seenaknya. Kita membenci para koruptor karena merasa sebagai pembayar pajak yang taat dan dia yang menikmati keuntungannya. Hari kita bertambah buruk karena antrian panjang di loket apotek dan akhirnya tidak menyukai lipstick pink si nona apoteker. Panasnya cuaca berbanding lurus dengan panasnya hati ketika melihat barang bagus yang sudah lama kita incar eh malah dipakai orang lain saat kita sedang mengetatkan ikat pinggang untuk bisa mendapatkannya.

Selalu ada alasan; harusnya. Tetapi pada kondisi tertentu kebencian kadang hadir tanpa sebab; tidak berdasar dan tanpa alasan. Sekelebat melihat atau merasa lalu tidak suka dan kemudian membenci dengan sangat. Untuk yang begini, mau heran tapi beneran ada.

Jeans belel dan sepatu kets yang dipajang di etalase toko kadang menjadi alasan hari kita menjadi buruk. Seorang kenalan yang tersenyum manis dan lewat diberanda medsos kadang menjadi sebab kopi pagi terasa lebih pahit dan kampungan di leher. Entah siapa di lampu merah kemudian mendapatkan makian tanpa sebab hanya karena dia membunyikan klakson dan tersenyum pada seorang pejalan kaki. Ada apa sebenarnya? Ini soal siapa atau mengapa?

Selalu ada alasan, sekalipun kadang tidak umum atau tidak masuk akal.

Kenapa bisa kita tidak suka dengan orang asing yang lewat depan rumah atau di beranda media sosial? Ada saat kita bahkan membenci hujan yang turun sejak pagi; padahal emang lagi musimnya. Lalu kenapa itu menjadi masalah hari ini?

Orang asing itu tidak bersalah, apalagi hujannya; mereka hanya ada di tempat dan saat yang tidak tepat. Banyak alasan ketidaksukaan pada sesuatu atau seseorang; baik yang sifatnya pribadi maupun ketidaksukaan umum yang kemudian diamini oleh pribadi. Secara pribadi saya pikir banyak ketidaksukaan ini sebenarnya didasari rasa iri dan “luka” dalam diri yang belum selesai. Ini kemudian berpotensi menjelma benci karena lingkungan gaul a.k.a circle  juga mendukung. Kitalah yang bermasalah.

Akhirnya saya bersepakat bahwa, alasan utama dari ketidaksukaan bahkan kebencian yang random itu adalah diri kita sendiri. Kita hanya belum menyelesaikan banyak soal dalam diri lalu mencari kambing hitam untuk semua beban itu.

Semua orang berjalan dengan cerita, ceria dan lukanya masing-masing.

Tidak semua cerita hidup dan rasa itu terang benderang diperlihatkan apalagi disampaikan. Banyak yang mengendap dalam pikiran dan jiwa saja, walau sadar bahwa apapun yang dipendam pada saatnya akan keluar dan menjelma sikap.

Kemarahan, kekecewaan, cerita-cerita traumatik yang pilih disimpan dalam sudut hati dan pikiran karena alasan-alasan etika dan ketidakberdayaan, pada saatnya akan terlihat. Hanya butuh pencetus yang tepat untuk memunculkan semua ke permukaan dalam bentuk ledakan emosi tidak terkontrol.

Untuk yang kemudian tidak tersampaikan akan muncul dalam bentuk kebencian tanpa alasan pada hal-hal receh atau pada orang dan stuasi tertentu. Atau bahkan pada kondisi yang adalah lumrah.

Ketidaksukaan kita pada perempuan cantik yang lewat di beranda medsos mungkin adalah bentuk lain kebutuhan akan pujian yang tidak kita dapatkan setelah usaha maksimal untuk terlihat menarik.

Cerita buruk yang kita sebarkan tentang kehidupan orang lain mungkin adalah bentuk teriakan untuk didengar, namun tak cukup nyali untuk mulai bicara.

Kesuksesan tetangga yang kita nyinyirin saban kali sepertinya adalah cita-cita yang lepas dari genggaman dan tidak tersampaikan.

Kemarahan yang menjelma suara menggelegar dan/atau kalimat-kalimat kasar adalah ungkapan jiwa yang sebenarnya hanya butuh sedikit perhatian  dan kasih sayang.

Sikap posesif, kecemburuan berlebih atau bahkan kebebasan yang diberi atas nama cinta mungkin adalah bentuk trauma dari pengalaman diabaikan atau ditinggalkan.

Tidak ada orang yang baik-baik saja; semua sedang berhadapan dengan pikiran dan trauma dari perjalanan hidupnya. Saya percaya ini akhirnya.

Kebencian itu melelahkan jiwa dan raga

Apalagi kalau yang dibenci sama sekali tidak tahu dan akhirnya tidak peduli; sakitnya dobel-dobel. Lebih buruk lagi ketika kebencian yang menjelma kalimat kasar dan sikap buruk berujung pada kehilangan.

Ketidaksukaan pada sesuatu atau seseorang pada kadar normal masih akan menyisakan ruang refleksi yang sangat mungkin menuju perbaikan diri dan cara pikir. Tetapi dalam jumlah banyak ketidaksukaan akan berujung benci dan hanya bermuara pada kehancuran. Banyak hal menjadi tidak masuk akal dalam kebencian. Beberapa cerita menjadi aneh ketika ketidaksukaan menjadi landasan.

Iri hati dan dendam membuat kebencian menguras banyak hormon kebahagiaan, nah ini berpotensi pada wajah yang menua sebelum waktunya. Ini buruk.  

Risiko lain dari ketidaksukaan berbumbu iri hati dan ketidakbahagiaan adalah logika tumpul lalu cenderung menjadi bodoh. Kalau ini sih menyedihkan.

Kedewasaan manusia kadang diuji melalui kemampuannya untuk mengatur kestabilan emosi.

Manusia dewasa akan bertanggung jawab pada traumanya dan tidak menjadikan masa kini sebagai pelampiasan “sakit” kemarin. Dewasa kadang terbaca dari kemampuan untuk mengalihkan pikiran dan perasaan pada hal lain yang menyenangkan ketika level tidak suka bergerak menuju benci. 

Bukan pekerjaan gampang tentu, butuh latihan dan jam terbang yang cukup untuk ini; tetapi bukan berarti tidak bisa.

Para pembenci pun baiknya dikasihani, karena mereka hanyalah orang-orang yang belum berdamai dengan dirinya. Perjuangannya pasti berat untuk berdamai dengan kondisi itu, apalagi jika tidak didukung oleh lingkungan yang pas. Para pembenci adalah orang-orang tidak bahagia yang kemudian menjadi monster untuk dirinya dan orang lain. Sangat mungkin juga kekosongan (jiwa) yang tidak terisi pada masa-masa tertentu menghasilkan pembenci yang berkamuflase menjadi korban dan si paling tersakiti.  

Mengenal diri lalu jujur mengakui perjalan, cerita dan banyak rasa yang kurang adalah salah satu cara mengatasi kemarahan.

Tak perlu berkoar-koar juga, cukup meluangkan waktu untuk mengenang, mengakui dan tersenyum. Ditemani lagu-lagunya Norah Jones juga oke, plus kopi dan sepiring pisang digoreng; terima semua dan maafkanlah.

Mungkin untuk  apapun baiknya juga tidak berlebihan. Bukankah sakit dan luka selalu hadir dari rasa yang berlebih? Suka atau sayang tak perlu berlebih takarannya. Tidak suka atau benci juga baiknya standar saja. Pas-pas sajalah hidup ini.

Terlalu sayang lalu jadi bucin  kata ABG; sebelum matahari terbenam sangat mungkin marahan dan saling serang di dunia nyata dan dunia gaib.

Terlalu benci lalu mengumumkannya di dunia nyata atau dunia maya, kemudian besok lusa butuh kan malu; effort musti lebih lagi untuk menghapus semua jejak digital.

Kalau Shakespeare orang Flores dia akan bilang, “Ko suka sa, sa ada dalam kop hati. Ko benci sa, sa ada dalam kop pikiran. Apapun kop pilihan, sa tetap menang banyak. Jadi biasa-biasa saja kooo…”

======== Salam dari Borong ========

paket wedding dania salon

Komentar