Menjadi perempuan itu tidak mudah; tentu saja tidak berarti menjadi laki-laki lebih mudah. Bicara tentang perempuan adalah bicara tentang banyak hal besar dengan rentetan hal-hal kecil yang mengikutinya. Selain alasan-alasan biologis seperti kromosom, DNA, hormon dan kawan-kawannya, ini juga tentang hal-hal tanpa alasan yang sepertinya terjadi begitu saja. Hehe. Menjadi seorang perempuan itu selain rumit dengan tuntutan lingkungan, juga rumit menghadapi tuntutan diri sendiri. Seluruh dunia sepakat bahwa lawan terberat adalah diri sendiri kan? Aslii….tidak ada yang sederhana ketika bicara tentang perempuan.
Banyak standard yang ditetapkan untuk seorang perempuan
Salah satu standar mutlak yang berlaku umum adalah bahwa perempuan itu harus cantik, kalau tidak cantik maka itu bukan perempuan. Yang mengerikan adalah bahwa cantik yang dimaksud hanyalah soal fisik belaka; urusan kepribadian adalah ulasan pada point kesekian. Pertanyannya adalah, standard cantiknya apa, bagaimana atau seperti apa? Perubahan jaman membuat standard kecantikan perempuan juga terus berubah, tekhnologi ikut memperparah kondisi ini. Terlihat cantik di pagi hari bukan jaminan sore masih akan tetap bersinar. Sumpah itu menjengkelkan…
Kecantikan berbeda pada setiap tempat dan masa.
Tetapi saya pikir lebih mudah untuk membahas kecantikan dalam versi yang lebih luas dan umum disini. Pada awal abad ke 20 atau tahun 1900-an, perempuan cantik adalah yang punya badan seperti jam pasir, ukuran pinggang hanya sekian centimeter. Jangan harap akan mendapatkan pujian kalau lingkar pinggang agak luas atau ada sale “tas pinggang” disana. Hehehe. Pada dekade selanjutnya cantik adalah yang feminim dengan alis natural, kemudian berganti bahwa cantik adalah keberanian untuk tampil beda dengan sedikit beda pada riasan dan gaya berpakaian. Memasuki era baby boomer, perempuan cantik adalah yang punya payudara besar. Standard ini dikaitkan dengan kemampuan perempuan untuk menghasilkan banyak anak. Operasi memperbesar payudara menjadi sesuatu yang mulai ramai dilakukan sejak masa ini; bagaimana menyusui dengan baik kalau payudaranya tidak “asli” lagi ya?
Perubahan standard kecantikan biasanya terjadi setiap 10 tahun; sangat dipengaruhi oleh kaum selebritas dan media. Ketika ada selebriti, entah karyanya berbobot atau tidak, dan menurut media menjual maka itulah yang akan diberitakan dan dijadikan standard kecantikan. Secara internasional sebut saja Marlyn Monroe, Sophia Loren, Madona, Angelina Jolie hingga keluarga Kadarshian. Versi lokal ada kecantikan ala Lydia Kandou, Sophia Latjuba sampai Raisa hari ini.
Tarik nafas panjang dan yakinkan diri untuk membuangnya sesegera mungkin ketika melihat daftar itu. Berat sekali kan? Apa kabar kita yang dikasi badan apa adanya tanpa lekukan ala gitar Spanyol? Yang diberikan tinggi badan hanya cukup untuk keluar dari kategori stunting? Belum lagi bicara tentang kulit cantik merona segar dan sehat, maka maafkanlah kulit kami yang sering bruntusan atau berjerawat ketika memasuki masa-masa pre menstruasi. Jangan juga membandingkan kulit coklat terbakar hasil jalan-jalan di bawah terik matahari untuk berolahraga dengan niat mendapatkan badan ideal. Secara olahraga di gym belum menjadi pilihan apalagi prioritas dan olahraga di rumah terasa sangat membosankan tanpa tegur sapa tetangga.
Nah bagian mana dari ini semua yang kemudian membuat semuanya sederhana untuk perempuan?
Toleransi dan keramahan yang diberikan kepada perempuan yang jerawatan, berkulit gelap atau berat dan tinggi badan kurang “ideal” sangat kurang. Untuk jenjang karir tertentu bahkan tanpa toleransi. Perkembangan media sosial untuk bagian standard kecantikan ini juga tidak banyak memberi kenyamanan bagi perempuan. Informasi tentang standard kecantikan lewat setiap detik diberanda, apalagi kalau algoritma sudah mencatat bahwa pencarian kita hanya soal bentuk badan ideal, standar kecantikan pada setiap rentang usia atau model baju ideal untuk usia dan berat badan tertentu. Walaupun kadang juga ada sedikit hiburan ketika beberapa artikel mengupas tentang pentingnya kecantikan yang datang dari dalam jiwa.
Butuh kematangan berpikir dan pengalaman yang cukup untuk bisa sampai dititik menerima bahwa saya (perempuan) cantik apa adanya dengan semua yang ada dalam diri. Banyak perempuan diusia yang tidak muda lagi, masih berusaha mengejar kecantikan versi media dan standar umum. Lupa bahwa metabolisme tubuh yang semakin berkurang akan berpengaruh banyak pada pembakaran lemak, apalagi kalau sudah sempat turun mesin a.k.a melahirkan. Sering terjadi memaksa punya kulit wajah glowing cerah tanpa kerutan, lupa bahwa itu butuh perawatan yang tidak murah dan pengaruh hormon cukup besar disini. Alih-alih dapat cantik paripurna, yang muncul malah wajah putih memerah dengan leher yang tetap berkerut mengikuti usia; semua sepakat ini aneh bukan cantik.
Untuk memenuhi standard cantik umum, banyak perempuan yang kemudian menjadi “perempuan palsu”. Tidak menjadi diri sendiri adalah pilihan lain yang diambil karena itulah yang ingin dilihat oleh dunia. Segala cara dan langkah diambil untuk terlihat menarik, putih bersinar, langsing (atau kurus?). Perempuan kadang juga tega kepada dirinya sendiri untuk mencapai semuanya; ini tentang perempuan yang menyiksa diri dengan diet berlebih, memakai kosmetik berbahaya atau perempuan yang rela menempuh segala cara untuk mendapatkan hasil maksimal di media sosial. Ini bukan cerita atau berita baru.
Kecantikan fisik seolah mengaburkan pentingnya aspek cantik yang lain.
Seolah ketinggalan jaman ketika tidak bicara tentang trend baju terbaru yang punya efek langsing atau make up yang bisa menghilangkan kerutan. Topik tentang strategi Sri Mulyani meningkatkan pendapatan Negara ditengah pandemi bukan pilihan yang asik. Hahaha. Perbandingan bahkan menjadi berlebihan untuk beberapa orang. Pembanding yang happening adalah selebriti perempuan di media sosial dengan semua ke-halu-an yang dijalani, bahkan menyalahi kodrat untuk disebut cantik, bukan lagi perempuan renta sederhana yang berjuang seumur hidup memberikan kebahagiaan dan senyum cantik diwajah anak-anaknya. Dunia berjalan dalam rel yang seperti seharusnya dengan isi yang mulai bingung dan mengalami disorientasi arah. Standard cantik bahkan melanglang buana sampai ke negeri jauh dan ikutannya terkadang adalah gaya yang “tidak sesuai”. Seberapa sering bertemu perempuan yang memakai celana super pendek untuk menunjukan kaki jenjangnya, berjalan dalam kabut dan dinginya kota Ruteng atau yang memakai jaket berbulu ala Korea dan berseliweran di Borong. Bukan hanya membuat refleks tersenyum tetapi juga otomatis berpikir menghubungi psikolog.
Tidak ada yang sederhana tentang perempuan. Bahkan untuk diri dan kodratnya sendiri.
Salam dari Borong